Sulthanul
Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap
Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir
di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir
nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau
dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil
Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia
wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir
di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Bila dirunut ke
atas dari nasabnya, beliau masih keturunan Rasulallah Muhammad SAW dari
Hasan bin Ali ra, yaitu Abu Shalih Sayidi Muhammad Abdul Qadir bin Musa
bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun
bin Abdullah Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib ra.
Adapun silsilah beliau adalah :
- Syech Abdul Qodir Jailani adalah seorang putra dari Abi Sholeh Janaki
- Abi Sholeh Janaki putra dari Abdullah
- Abdullah putra dari Yahya AdJahidi
- Yahya AdJahidi putra dari Muhammad
- Muhammad putra dari Daud Assani
- Daud Putra dari Musa Assani
- Musa Assani putra dari Abdullah Assani
- Abdullah Assani putra dari Musa Aljuuni
- Musa Aljuuni putra dari Abdullah Al'Mahdi
- Abdullah Al'Mahdi putra dari Hasan Almusanna
- hasan almusanna putra dari Syaidina Husain (Cucunda Rosullullah Muhammad SAW)
- Syaidina Husain Putra dari Syaidina Ali Bin Abi tholib dan Siti Fatimah binti Rosulullah
PERJALANAN SYECH ABDUL QODIR AL-JAILANI
Sejak
kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih
baik, apa yang desebut 'pengalaman-pengalaman mistik'. Ketika berusia
delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama
para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat
ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-Azam atau
wali ghauts terbesar.
Dalam
terminologi kaum sufi, seorang ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan
keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat
manusia setelah para nabi. Seorang ulama' besar di masa kini, telah
menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur'an bagi
orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa
yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan
bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah
menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada
bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang
ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi
masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan
agar jangan berdusata dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk
senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu
kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan
perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak
memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin.
Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang
atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir
segera menjawab: "Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang
dijahitkan di dalam baju oleh ibuku." Tentu saja para perampok
terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka
membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun
sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh
keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak
kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat
berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna
upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar
hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul
Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan,
bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini
menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka
keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak
mungkin baginya.
Beliau
berusia 8 tahun ketika meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488
H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad,
yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya
Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang
ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga
Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut
hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan
pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang
membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan
pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani.
Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana
sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah
tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau.
Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba
ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Al-Jaba’i
berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan
bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan
yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik
jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat
menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan
perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada
orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah
kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam
hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut.
Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla.
Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta
bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir
sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].
Kemudian,
Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum
dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak
berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini
berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka
mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata,
”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan
yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati
jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar.
Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia
lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya
mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah
SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat
beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang
penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati,
mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian
dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk
diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila,
seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan
sebagai sesuatu yang manis."
Dalam
beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah
suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke
Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan
para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah
aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut,
"Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan
mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke
Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara
itu.
Aku
pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada
seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang
meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke
Baghdad dan mulai berceramah.
[sunting] Beberapa Kejadian Penting
Suatu
ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang
mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan
datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar
tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual
yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan
mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir".
Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah
naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali.
Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau
tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku
kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.
Rasulallah
SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku.
"Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada
orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah
itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat
Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan
kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang
akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir,
apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku
akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai
Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan
Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan
lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana,
busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab
pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau
sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata,
“Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu
kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau
menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara
kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Guru
dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak
dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter
berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia
harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu
hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut
kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa
diawasi oleh Allah.
Syeikh
Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar
al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia
tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak
pantas untuk diikuti.
Menurut
saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik
seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya
atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya
dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid
tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid
bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan
kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu
memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya
dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid
bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh
memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber
dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para
sahabatnya.
Kemudian
dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya.
Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah,
jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi
hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali,
hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat
(kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah
fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata,
"Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini
selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku
berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku
ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan
mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu,
Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata
terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara
yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat
Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita
dengan kalimat tersebut.
Syeikh
Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang
individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada
Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena
itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi:
Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau
lupakan aku saat perpisahan (maut).
Ada
suatu peristiwa yang terjadi pada malam babak baru ini, yang
diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan
kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah
kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara
perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal,
tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke
puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan
duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi
raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai
pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa
perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian
pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah
menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh
beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan
tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: "Aku
sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh
Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan
risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan
bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak,
tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku."
Begitulah
gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi.
Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir
Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis
menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia
membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di
langit tertinggi.
Sang
Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis,
karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi
Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: "Baiklah
Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu."
"Enyahlah!, bentak sang wali." Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku,
tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu".
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**)
Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas
terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira
maupun ancaman.
Versi
kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara,
tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di
angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah
sosok terang di cakrawala dan berseru: "Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan
bagimu segala yang haram." Sang Syaikh berucap: "Aku berlindung kepada
Allah dari godaan setan yang terkutuk." Sosok itu pun segera pergi
berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: "Dengan ilmumu dan rahmat
Allah, engkau selamat dari tipuanku."
Lalu
setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang
Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah
yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari
Allah.
Kedua
versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara
perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan
ruhaniahnya.
Kesadaran
aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir
yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil
mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi
pemimpin sejati manusia
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik
untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan
kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima
puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia
menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu
beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan
mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan
taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak - dua puluh
putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
1.
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan
mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia
juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan
masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara,
dan demikian termasyhur.
2.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar.
Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang
baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
3.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits.
Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa
kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad,
sebagaimana ayahnya.
4. Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh
puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa.
Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali,
diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke
tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti
disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz,
dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat
terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana
telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di
samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar
tentang Tafsir Al Qur'an, Hadits, Ushul Fiqih,Tasawuf dan mata pelajaran
lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum,
yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum
sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah
sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang
tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di
antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat
Isya', sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan
melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah -
suatu amalan yang dianjurkan Qur'an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi,
ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat
manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi
Penciptanya
AJARAN BELIAU
Sam’ani
berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan.
Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada
masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan
Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat
tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam
Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan
beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan,
”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi
terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah
menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun
sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar
XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para
kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah
hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara
riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul
Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul
Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat
kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang
Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah
lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok
Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya
dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul
Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah
tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi
banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau.
Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam
bishshawwab.
KAROMAHNYA
Syeikh
Abdul Qadir al Jailani adalah seorang Wali qutub yang diagungkan pada
masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud dan ahli
hakikat. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang
yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama
lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang
mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al
Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H,
meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan
Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang
aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah
seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian
kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi
hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak
meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah
masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak
berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat
perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan,
dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah
Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.
Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani
rahimahullah."
Kemudian
didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far
bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi),
seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan
Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau
dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor
1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta
atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari
kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh
Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8
Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
PENDAPAT ULAMA SUFI TENTANG BELIAU
Syeikh
Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan
hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir
al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh
Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami
sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan
kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau
mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat
kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Beliau
adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan
Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi,
banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau.
Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan
Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui
dari pendapat Imam Ibnu Rajab
Imam
Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah
memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah,
takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya beliau, antara lain :
1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
2. Futuhul Ghaib.
Ketika
ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab,
"Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau
menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami.
Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat
kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau
senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."
Ibnu
Rajab di antaranya mengatakan, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah
seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para
syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan
dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy
Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan
keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid
kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar
(kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia
menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab
ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di
dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab
selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang
yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama
dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil
tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul
Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi
telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas
kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."
Ibnu
Rajab juga berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat
yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan
ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al
Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga
mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan
perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya,
ia berpegang pada sunnah. "
Imam
Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki
kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap
sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas
kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya
merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).
Imam
Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang
riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh
Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang
tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."
Syaikh
Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,
hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al
Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui
dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga
membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah,
Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.
KESIMPULAN
Kesimpulannya
beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum
muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu
kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan
derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal
ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan
rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia
manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul
Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa
do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan
perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang
meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini
diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini
adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk
ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang
mahluknya berdo’a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid
itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun
di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"
Jadi
sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para
‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah
ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan
petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh
dengan fitnah ini.
Pada
tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada
masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul
Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq
dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam.
Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan
sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan
dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan
anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh
Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya
Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh
Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu
tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
KEDUDUKAN WALI QUTUB SYECH ABDUL QODIR JAILANI DIANTARA PARA WALI
Kedua
Telapak Kakiku ada di punggung setiap Wali Allah
Bismilahirrohmaanirrohiim Alhamdu Lilaahi Robbil”aalamiin Asholaatu
Wasalaamu ‘ala Sayyidil Mursaliin, Sayidinaa wa Maulanaa Muhammadin wa
‘alaa AaliHi wa ShohbiHi wa ‘alainaa ma’ahum AmiinB Al-Hafid Abu Izza
Abdul Mughist bin Harb Al-Baghdadi dan yang lainnya berkata ” Kita biasa
hadir di majelis Syeh Abdul Qodir di ribathnya di Baghdad. Umumnya yang
menghadiri majelis beliau adalah para Syaikh Iraq diantaranya ; Syaikh
Alibin Hiti, Baqa bin Bathu’, Abu Sa’id Al-Qailawi, Musa bin Mahin , Abu
NajibAssahrawardi, Abu karam, Abu Umar, Utsman Al Qursyi, Makarim
al-Akbar, Mathar, Jaakir, Khalifah, Shidqah, Yahya Murtasyi, Ad-diya
Ibrahim al-Juwaini, Abu Abdulah Muhammad al-Qazwaini, dan masih banyak
lagi selanjutnya klik di siniAbu Ustman, Umar Ak-Batiahi, Qadib Al-
Baan, Abul Abas Ahmad Al-Yamani, Abu Abas Ahmad Al-Qazwaini beserta
muridnya Daud yang selalu melaksanakan Shalat fardhu di Makkah, Abu
Abdulah Muhammad Al-Khas, Abu Umar, Ustman Al-Iraqi As-Syauki, yang
konon merupakan salah seorang Rijal Ghaib ….dan lain sebagainya.
Dalam
kondisi Spiritual sang Syaikh berkata “Kakiku ini ada di punggung setiap
Wali”. Begitu mendengar tersebut Syeh Ali ASl-Hiti langsung bangkit dan
meletakkan kaki Syeh Abdul Qodir Al-Jailani di pundaknya. Begitu pula
dengan yang lain, mereka telah mengulurkan pundaknya untuk melaksanakan
hal tersebut. Syeh Ali bin Abi Barakat Shakr bin Shakr meriwayatkan
bahwa ia pernah mendengar ayhnya pernah berkata “Aku penah berkata
kepada pamanku Syeh Uday bin Musafir ‘Sepanjang pengetahuan anda selain
Syeh Abdul Qodir Al-Jailani adakah para ulama terdahulu yang berkata
‘Kedua kakiku ini ada di pungggung setiap Wali Allah ?’ “Tidak”
jawabnya. ‘Jika memang demiian sambungku, lalu apa makna dari perkataan
tersebut ?’ Beliau berkata “itu artinya Syeh Abdul Qodir telah mencapai
maqom wali Afrod . ‘Tapi bukankah di setiap generasi terdapat Wali Afrad
bantahku lagi. “Benar tapi tidak ada seoranpun yang diperintahkan oleh
Allah untuk mengucapkan kalimat ini” jawabnya. ‘Jadi memang beliau
diperintahkan untuk mengucapkan kalimat tersebut ? tanyaku. ‘ya’ jawab
beliau. Kemudian beliau berkata ‘karena adanya perintah tersebut mereka
meletakkan kepala .
Bukankah engkau mengetahui bahwa para Malaikat as
bersujud kepada Adam karena adanya perintah krpada mereka untuk
melaksanakan hal tersebut. Syeh Baqa bin Bathu An-Nahri Al-Maliki
berkata ” Syeh Abdul Qodir berkata’kedua kakiku ini berada di setiap
punggung Wali Allah’”. Berkenaan dengan itu Syeh Ibrahim dan Syeh Abi
Hasan Ali Arrifa’i al-Bathiahi mwriwayatkan bahwa ayahnya pernah
bertanya kepada pamannya Syeh Ahmad Arrifa’i ‘apakah pernyataan Syeh
Abdul Qodir ‘ kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali
Allah berdasarkan perintah atau tidak?’ Pernyataan tersebut berdasarkan
perintah jawab beliau. Dalam sebuah riwayat tyang dinisbatkan kepada
Syeh Abi Bakaw bin Hawwar menyatakan bahwa veliau pernah berkata di
majlisnya ,”Nanti akan muncul di Iraq seorang non arab yang memiliki
kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan manusia. Namanya Abdul Qodir dan
tinggalnya di Baghdad, Dia akan berkata ” Kedua kakiku ini berada di
setiap punggung Wali Allah” Dan setiap wali akan mengakui bahwa beliau
adalah wali Afrad pada zamannya.
Sulthon Auliya dan Syaikh Islam
Izzuddin bin Abdissalam berkata, ” Belum pernah kemutawatiran riwayat
tenteang sebuah karomah yang sampai kepada kami sebanding dengan
kemutawatiran karomah Syeh Abdul Qodir Al Jailani . Beliau adalah orang
yang berpegang teguh kepada Syari’ah , menyeru orang-orang untuk
melaksanakan syari’ah, dan menghindarkan diri dari yang dilarang
olehNya. Beliau berbaur dengan masyarakat sambil terus menerus beribadah
dan beliau bisa mencampurkannya dengan sesuatu yang menyibukkan beliau
seperti menikah dan memiliki keturunan . Barang siapa yang mengikuti
jalan ini maka ia lebih sempurna daripada yang lain. Ditambah lagi apa
yang dinyatakan fdi atas merupakan karakter dari Rosulullohi SAW .
Diantara karomah beliau adalah pernyataan beliau ‘Kedua telapak kakiku
ini berada di setiap punggung Wali Allah. Hal tersebut dikarenakan
kesempurnaan beliau tidak tertandingi pada masa itu yang tidak diragukan
lagi menjadikannya berhak mendapatkan kehormatan tersebut.
Syeh Mathar
meriwayatkan “Suatu hari ketika saya sedang berada di Zawiyah Syeh Abu
Wafa’, guruku, di daerah Qailamaya beliau berkata kepadaku ‘Ya Mathar
tutup pintu, jika ada seorang pemuda Ajam (non Arab) datang memohon
untuk masuk maka jangan diberi dia ijin’. Akupun melaksanakan perintah
beliau. ternyata yang datang adalah Syeh Abdul Qodir yang pada waktu itu
masih seorang pemuda. Beliau mohon ijin untuk masuk namun Syeh Abu
Wafa’ tidak mengijinkannya masuk. Saat itu aku melihat Syeh Abu Wafa’
berjalan hilir mudik dalam zawiyah dengan gelisah. Setelah itu beliau
mengijinkannya untuk masuk. Ketika Syeh Abu Wafa’ melihat Syeh Abdul
Qodir beliau melangkah mendekat dan memeluknya beberapa lama seraya
berkata ‘Abdul Qodir‘ demi Yang Maha Agung aku tidak mengijinkanmu masuk
pertama kali bukan karena keinginan zalim terhadap hakmu akan tetapi
karena takut terhadap dirimu. Akan tetapi setelah aku ketahui bahwa
engkau ingin belajar kepadaku dan menaatiku, baru aku merasa aman.
Syaikh Abdurrahman At-Tahfsunaji berkata “Saat Syeh Abdul Qodir datang
ke Zawiyah Tajul ‘Arifin Abu Wafa’ beliau berkata kepad para muridnya ‘
Berdiri dan smbutlah Wali Allah’-Pernyataan ini mungkin terjadi pada
saat Syeh Abdul Qodir sedang berjalan menuju beliau atau dikeluarkan
kepada mereka yang belum bediri ketika Syeh Abdul Qodir datang- Ketika
beliau megulang-ulang perintah tersebut, seorang muridnya bertanya
kepada beliau sebab pernyataan tersebut.
Beliau menjawab “Pada saatnya
nanti pemuda ini akan menjadi sandaran baik golongan khas maupun awam.
Aku seakan akan melihatnya seang berbicara di depan khalayak ,”Kedua
telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah”. dan pernyataan
itu benar adanya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwea beliau adalah
Qutb mereka pada saat itu. Barang siapa berjumpa dengannya pada sat itu,
berkhidmadlah kepadanya. Syaikh musallamah bin Naimah As-Saruji ketika
ditanya tentang siapakah Qutb itu, beliau menjawab, “Beliau sekarang ada
di Makkah, bersembunyi dan hanya diketahui oleh orang-orang saleh. Dan
akn muncul di sini (Iraq) seorang pemuda ‘ajam yang mulia bernama Abdul
Qodir Akan tampak dari beliau beberapa Karomah yang luar biasa . Beliau
adalah Qutb waktunya dan Ghauts Zamannya.
Baliau akan berkata di hadapan
orang-orang “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali
Allah”, dan para Wali akan merendahkan punggungnya kepada beliau. Allah
akan memberikan manfaat darinya dan dari karomahnya kepada siapa saja
yang mempercayainya. Syaikh Ali Al-Hiti meriwayatkan, “ketika Syaikh Abu
Wafa sedang berbicara di dalam majlis, masuklah Syeh Abdul Qodir .
beliau memerintahkan para murid untuk mengeluarkannya dan meneruskan
ceramahnya. Kemudian untuk yang ke tiga kalinya Syeh Abdul Qodir kembali
masuk ke pengajian tersebut. Kali ini Syaikh Abu Wafa’ turun dari
kursinya tempat menyampaikan pengajaran lalu memeluk beliau dan menciumi
dahinya seraya berkata,’Para penduduk Baghdad, berdirilah demi Wali
Allah ini. Perintahku untuk mengusirnya tidak lain agar kalian
mengetahuinya bukan untuk menghinanya. Betapa mulia seorang hamba yang
kibaran panji di atas kepalanya melingkupi timur dan barat’. Kemudian
beliau berkata kepada Syeh Abdul Qodir , “Abdul Qadir, masa sekarang
milik kami,dan kelak akan menjadi milikmu. Aku serahkan kepadamu Iraq.
Semua ayam akan berkokok dan berhenti kecuali kokokan ayammu yang tidak
akan berhenti hingga hari kiyamat’. Setelah itu beliau memberikan
sajadah, baju, tasbih , tempat makan dan tongkatnya kepada Syeh Abdul
Qodir. ‘Ambil semua itu dengan bai’at saran seseorang kepadanya. Namun
Syaikh Abu Wafa’ berkata, di dahinya terdapat bai’at Al-Makhzuumi’.
Setelah majlis tersebut selesai, Taajul ‘arifiin Syaikh Abu Wafa’ turun
dan duduk di akhir tangga tempatnya mencapaikan ceramah seraya
menggenggam tangan Syeh Abdul Qodir dan berkata, ‘sekarang adalah
waktumu.’ Jika beliau datang aku selalu teringat akan kisah ini dan
kemuliaan beliau’. Syaikh Umar Al-Bazaar berkata, “tasbih yang diberikan
Syaikh Abu Wafa kepada beliau dapat berputar sendiri biji-bijinya jika
diletakkan di atas tanah. Setelah bellliau eninggal dunia, tasbih
tersebut menjadi milik Syaikh Ali bin Al-Hiti. Begitu juga dengan tangan
orang yang menyentuh tempat makan yang diberikan Syaikh Abu Wafa’
kepada beliau akan bergetar hingga bahunya”. Syaikh Muhammad Yusuf
Al-Aquuli berkata”Aku berniat berziarah kepada Syeh Uday Bin Musafir.
Ketika aku menghadap, beliau bertanya kepadaku ‘dari mana anda ?’Aku
adalah salah seorang murid Syeh Abdul Qodir ‘ Jawabku.
Mendengar
jawabanku bekliau berkata ‘Bagus, Qutb-Al arda (bumi) yang dengan
pernyataannya “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali
Allah “ menjadikan 300 Wali dan 700 orang-orang Gaib yang berjalan di
bumi maupun yang terbang, mengulurkan pundak mereka kepadanya dalam satu
waktu”. Kemudian aku menziarahi Syeh Ahmad Rifa’i dan menceritakan
kepadanya apa yang dikatakan oleh Syeh Uday saat itu dan beliau berkata
“sungguh tepat apa yang disampaikan beliau (Syeh Uday). Syaikh Majid Al
Kurdi berkata,”saat Syeh Abdul Qodir mengatakan pernyataan di atas,
semua wali di bumi pada saat itu merendahkan lehernya sebagai tanda
pengakuan mereka terhadap beliau. Dan tidak ada segolongan jin soleh pun
yang tidak datang menghadapnya untuk bertobat dan mengakui beliau
hingga mereka berdesak-desakan di pintu rumahnya. Riwayat ini disetujui
oleh Syaikh Mathar. Kemudian beliau berkata, “Aku bertanya kepada Syaikh
Abdullah bin Sayyidina Syeh Abdul Qodir Al-Jailani ,’apakah engkau
menghadiri majlis saat ayahmu berkata ,’kedua telapak kakiku ini berada
di punggung setiap wali Allah , ‘ya’ jawabnya. Kemudian ia berkata,’
yang hadir pada saat itu sekitar 50 orang syaikh’. Ketiks beliau masuk
ke dalam rumahnya, yang tersisa hanya Syaaikh Makarim, Syaikh Muhammad
Al-Khas, dan Syaikh Ahmad Al-‘Aarini. ‘kamipun duduk dan
berbincang-bincang’ ujarnya.
Syaikh Makarim berkata, “Allah
memperlihatka kepadaku pada saat itu semua orang yang memiliki panji
kewalian di muka bumi mengakui panji kequthuban di tangan beliau dan
mahkota ghoutsiah di atas kepala beliau dan jubah otoritas total atas
segala yang wujud/eksis , untuk mengangkatnya menjadi Wali atau
menurunkannya sesuai syariat dan hakikat. Dan aku mendengar eliau
berkata ,”kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah
yang akan menundukkan kepala dan merendahkan dirinya kepada beliau
bahkan termasuk di dalamnya para abdal yang sepuluh, usltan masa
tersebut Masih berkenaan dengan pernyataan Sang Syaikh, Syeh Abu Sa’id
Al-Qailawi berkata “ketika Syeh Abdul Qodir mengatakan ‘kedua telapak
kakiku ini ada di setiap punggung Wali Allah’ , Allah Tajalli dalam jiwa
beliau. Kemudian sekelompok malaikat datang membawakan jubah kebesaran
Rosululloh SAW untuk dipakaikan kepada beliau di hadapan para Wali
terdahulu maupun yang akan datang.-yang hidup datang dengan jasadnya,
yng sudah meninggal datang dengan ruhnya. Para malaikat dan Rijal
Al-Ghaib mengelilingi majlisnya dan berbaris ber shaf-shaf di udara ,
begitu banyak jumlahnya hingga seluruh ufuk penuh dengan kehadiran
mereka.
Dan semua Wali yang ada di muka bumi ini menundukkan kepala
untuk beliau”. Syeikh Kholifah Al Akbar bercerita “Saat aku bertemu
dengan Rosululloh SAW dalam mimpi aku bertanya kepad beliau ,’ Yaa
Rosululloh Syeh Abdul Qodir trlah berkata ‘Kedua telapak kakiku ini ada
di punggung setiap Wali Allah ‘ Beliau menjawab ‘Yang diucapkan oleh
beliau adalah benar. Bagaimana mungkin tidak benar apabila dia adalah
Qutb (para wali) dan aku (Rosululloh SAW yang mengawasinya. Di hari
Jum’at 3 Ramadan 599 H. seorang pria datang menghadap Syeh Hayyan bin
Qis Al-Harani di masjid Al Hiran memohon Khirqah (jubah kesifian tanda
bai’at) kepada beliau. “Dalam dirimu talah terdapat tanda selain aku’
kata beliau kepadanya. orang itu berkata, ‘benar aku pernah bertemu Syeh
Abdul Qodir namun tidak ber bai’at kepada beliau”. Syeh Hayyan berkata
“selama beberapa waktu kita telah hidup di bawah bayangan kehidupan Syeh
Abdul Qodir Al Jailani .telah kita meminum gelas-gelas kebahagiaan dari
mata air pengetahuan beliau. dan Dari Beliau diperoleh rahasia para
Wali menurut tingkatan mereka.
Suatu saat Syeh Lulu Al Armani ketika
bertemu dengan Syeh Atha’ Al-Masri , beliau meminta untuk menyebutkan
para gurunya. Syeh Lulu berkata ,”Atha’ guruku adalah Syeh Abdul Qodir
Al Jailani yang menyatakan “kedua telapak kakimku ini ada di punggung
setiap Wali Allah .Dan pada saat beliau selesai mengucapkan hal tersebut
tercatat 313 Wali Allah dari segala penjuru dunia menundukkan kepala
meeka , 17 orang berada di Haramain , 60 orang di Iraq, 40 orang di
negeri non Arab, 40 orang di Syam, 20 orang di mesir, 27 orang di
Maroko, 11 orang di Habsyah, 7 orang di tembok penahan Ya’juj dan
Ma’juj, 7 orang di Wadi Sarandib, 47 orang di gunung Qof, 20 orang di
daerah teluk. Dan banyak yang besaksi bahwa pernyataan tersebut
diucapkan berdasarkan perintah Allah. Kemudian beliau melanjutkan.”Aku
sendiri melihat para Wali di timur maupun di barat merundukkan kepala
mereka kepada Syeh Abdul Qodir kecuali seorang Wali di daerah luar Arab
yang kemudian hilang tanpa bekas. Diantara mereka yang merundukkan
kepalanya kepada beliau adalah Syeh Baqa’ bin Bathu’ , Syeh Abu Sa’id
Al-Qaylawy , Syeh Ahmad Arrifa’y yang dalam sebuah riwayat memanjangkan
lehernya dan melihat punggungnya seraya berkata,’Memang ada di
punggungku’. Saat di tanya mengenai perkataannya itu, beliau
berkata,’saat ini di Baghdad , Syeh Abdul Qodir sedang berkata ,’ Kedua
telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah‘.
Termasuk diantara
mereka yang menundukkan kepala kepada beliau adalah Abdurrahman
Athafsunaji, Abu Najib Assahrawardi, yang mengangguk-anggukkan kepalanya
ketika mendengar hal tersebut seraya berkata’di atas kepalaku. Musa Al
Jazuli, Musa Al Harani, Abu MUhammad bin ‘Abd, Abu Umar, Ustman bin
Marzuq , Abu Al-Karam , Majid Al Kurdi , Suwaid Annajari, Ruslan
Addimasqi, yangmenundukkan kepalanya di Damaskus seraya berkata kepada
para muridnya ‘Allah memiliki mutiara yaitu orang yang minum dari
lautanAl Quds dan duduk di permadani ma’rifah serta menyaksikan keMaha
Agungan Rububiyah / ketuhanan dan ke Maha Besaran Wahdaniyah
(ketunggalan). Sifat (kemanusiaannya) lenyap saat menyaksikan keMaha
Besaran Nya Eksistensinya lebur saat menyaksikan ke-WibawaanNya Maka
dipakaikannya kepadanya jubah keacuhan (terhadap dunia) dan ditempatkan
di puncak tangga Al-Inayah hingga beliau mencapai maqom yang telah
ditentukan dan didudukkan di puncak ruh Azaly .
Dia berbicara dengan
hikmah dari lembaran-lembaran cahaya, bercampur dengan kepekatan
rahasiaNya. Hilang kesadarannya ketika berada di Hadirat Allah dan tidak
pernah terputus denagn Allah ketika Ia kembali sadar. Berdiri dengan
penuh rasa malu, berbicara dengan tawadhu’ mendekatkan diri dengan penuh
kerendahan, berbicara dengan kemuliaan , baginya ucapan selamat dan
salam terbaik adalah berasal dari Tuhannya. ‘Apakah di dunia ini ada
orang yang memiliki ciri seperti itu ?’ tanya seseorang kepada
beliau’Ada, dan Syeh Abdul Qodir pemimpin mereka’jawab beliau. Di Maroko
(Maghrib) Syaikh Abu Madin (setelah mendengarkan pernyataan Syaikh
Abdul Qadir ) memanjangkan lehernya dan berkata, ‘benar dan aku salah
seorang dari mereka. Yaa Allah aku bersaksi kepadaMu dan kepada para
MalaikatMu bahwa aku mendengar dan patuh’. Kemudian termasuk diantara
mereka adalah Syaikh Abu Na’im AL-Maghribi, Syaikh Abu Umar dan Utsman
bin Marwazih Al-Bathiahi, Syaikh Makarim, Syaikh Khalifah, Syaikh Uday
bin Musafir. Pada saat beliau mengucapkannya banyak orang yang melihat
rombongan orang yang terbang di udara untuk menghadap beliau berdasarkan
perintah Khidir as. Dan setelah mengucapkan selamat, seorang wali
berkata kepada beliau, ‘eahai raja zaman, pengusas tempat, pelaksana
perintah Sang Maha Pengasih, pewaris kitab Allah dan wakil RasuluLlah
SAW, yang dianugerahi langit dan bumi, yang menjadikan seluruh orang
pada masanya sebagai keluarganya, yang doanya dapat menurunkan hujan,
dan berkahnya menghilangkan mendung, yang menjadikan kepala orang yang
menghadapnya tertunduk, yang makhluk gaib hadir di hadapannya sebanyak
40 shaf, dengan 70 orang Gaib pada setiap shaf, yang ditelapak tangannya
tertulis bahwa dia tidak akan mendapat makar dari Allah, dan di umurnya
yang ke dua puluh para malaikat berputar di sekelilingnya serta
menyampaikan kabar gembira kewalian beliau’.
Pada suatu masa, air sungai
dajlah meluap dan membanjiri Baghdad.Orang-orangpun mendatangi beliau
memohon pertolongannya. Sambil membawa tongkatnya beliau berjalan menuju
tepian sungai dan menancapkannya di batas air seraya berkata, “cukup
sampai di sini” dan saat itu pula air sungai tersebut menyurut. Syaikh
Abdullah Dzayyal berkata, “suatu saat ketika berada di madrasah beliau
di tahun 560 H aku melihat beliau memegang tongkat. Saat itu aku
berharap aku dapat melihat karamah yang keluar dari tongkat tersebut.
Beliau kemudian memandang ke arahku sambil tersenyum lalu menancpakan
tongkatnya ke tanah, seketika itu pula cahayanya menyembur dari tanah,
menembus awan dan menjadikan langit terang benderang beberapa saat.
Beliau kemudian mencabutnya kembali dan keadaan pun kembali seperti
semula. Beliau berkata kepadaku, ‘Dayyal, bukankah ini yang engkau
kehendaki’”. Syaikh Abu Taqy Muhammad bin Al-Azhar Ash-Shariifni
berkata, “selama setahun penuh aku memohon kepada Allah untuk dapat
melihat salah seorang dari rijal Al-Ghaib. Pada suatu malam aku bermimpi
bertemu dengan seorang pria saat sedang menziarahi makam Imam Ahmad bin
Hambal. Terbetik dalam hatiku bahwa beliau adalah salah seoraang rijal
Al-Ghaib. Akupun terbangun dan sengan harapan dapat bertemu dengannya
akupun pergi ke makam Imam Ahmad bin Hambal . akupun bertemu dengan
orang yang ada di dalam mimpiku di sana. Saat beliau keluar aku
mengikutinya hingga sampai ke tepi sungai Dajjlah. Di tepian tersebut
beliau menarik tepian sungai tersebut hingga keduanya hanya berjarak
satu langkah dan menyeberanginga. Aku memohon kepadanya untuk berhenti
dan berbicara kepadaku. Aku bertanya, “apa mazhabmu ?”. “Aku bermazhab
Hanafi, seorang muslim dan bukan musyrik”. Jawab beliau. Kemudian hatiku
seakan – akan berkata, ‘pergi ke Syaikh Abdul Qadir dan ceritakan apa
yang engkau alami’. Akupun mengunjungi sang Syaikh. Setibanya aku di
pintu madrasah, beliau berkata dari dalam rumah tanpa membuka pintunya,
‘yaa Muhammad, saat ini hanya dialah seorang wali yang bermazhab Hanafi
di muka bumi ini’.
Suatu saat beliau naik ke atas kursi tempat beliau
mengajar, tidak berbicara dan tidak menyuruh pembaca kitab untuk
membacakannya. Dan orang-orang yang hadir memasuki kondisi ektase dan
perkara yang agung memasuki mereka. Salah seorang yang hadir bertanya
dalam hati, “apa ini ?”. beliau berkata, “seorang muridku datang dengan
satu langkah dari baitul Muqaddas kemari untk bertaubat dan semua yang
hadir pada saat ini dianggap sebagai tuan rumahnya. “dalam hatinya orang
tersebut berkata, “jadi siapa yang mengalami kondisi seperti ini adalah
mereka yang bertaubat ?”. pernyataan tersebut dijawab sang Syaikh,
jangan engkau berharap kepadanya. Dia datang kepadaku dan memintaku
untuk mengajarinya jalan untuk mencinta”. Pernah suatu saat Syaikh Abdul
Qadir berjalan di atas udara di depan banyak orang dan berkata,
“Matahari selalu menyampaikan salam kepadakusetiap ia ingin terbit.
Demikian pula halnya dengan hari, bulan dan tahun. Mereka –juga-
menginformasikan kepadaku tentang apa tentang apa yang terjadi.
Di
beberkan kepadaku Lauh Al-MahfudzI tentang siapa yang mendapatkan
kesenangan dan siapa yang mendapatkan kesusahan. Aku tenggelam dalam
lautan Ilmu dan Musyahadah –Nya. Aku adalah sandaran kalian dan wakil
RasuluLlah SAW di muka bumi”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setiap wali
berada di bawah telapak kaki para Nabi dan aku berada di bawah telapak
kaki kakekku RasuluLlah SAW. Semua tempat yang aku injak maka bekasnya
akan emnjadi telapak kaki Nabi.” Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku adalah
Syaikh bagi para manusia dan jin.” Di lain kesempatan beliau berkata,
“jika kalian bertanya kepada Allah, tanyakan aku kepadaNya. Wahai
penduduk bumi, dari timur hingga barat, kemarilah dan belajar dariku.
Wahai penduduk Iraq, Ahwal –kondisi spiriutal- yang kumiliki seperti
baju yang tergantung di rumah. Baju manasaja yang engkau pilih akan aku
pakaikan kepadamu. Hendaknya kalian menyampaikan salam atau akan aku
bawakan pasukan tiada tanding. Hai saudara, berkelanalah 1000 tahun agar
engkau dapat mendengarkan perkataanku. Saudara, kewalian dan beberapa
derajad spiritual ada di sini, di majlisku.
Semua Nabi yang diciptakan
Allah dan semua wali menghadiri majlisku baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal dunia. Yang masih hidup dengan fisik mereka
sedangkan yang sudah meninggal dunia dengan rohnya. Saudara sekalian
tanyakan diriku kepada Munkar dan Nakir ketika mendatangi kalian (di
kubur) maka mereka akan menceritakan diriku kepada kalian.” Abu Ridho,
pelayannya meriwayatkan, dalam suatu kesempatan Syaikh Abdul Qadir
berbicara tentang roh. Di tengah penjelasan, beliau diam, duduk dan
kemudian bangkit kembali seraya bersenandung, Rohku telah diciptakan
dengan hikmah dalam ke-qadiman, sebelum ia mewujud, ketika ia dalam
ketiadaan sekarang, bukankah suatu kebaikan setelah aku mengenal kalian
lalu aku pindahkan kakiku dari jalan hawa kalian. Di lain riwayat, Abu
Ridho bercerita, “suatu hari ebliau menjelaskan tentang cinta. Tiba-tiba
beliau bangkit dan diam. Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak akan berbicara
kecuali dengan 100 dinar.’ Orang-oranagpun menyerahkan kepada beliau
apa yang beliau minta. Kemudian beliau memanggilku dan berkata,
‘pergilah engkau ke pekuburan Syunuziyah dan cari seorang syaikh yang
sedang bermain-main dengan kayu lalu berikan emas ini kepadanya dan bawa
ia kepadaku’. Kemudin akupun pergi dan menemukan syaikh yang beliau
maksud sedang berdiri dan memain-mainkan tongkat kayu.
Akupun
mengucapkan salam dan menyerahkan emas tersebut kepadanya. Dia berteriak
dan jatuh pingsan. Saat beliau sadar aku bertanya kepadanya, ‘Syaikh,
Syaikh Abdul Qadir ingin bertemu denganmu’. Beliau kemudian bangkit dan
menemui Syaikh Abdul Qadir. Setibanya di sana Syaikh Abdul Qadir
memberikan perintah untuk menaikkannnya di kursi tempat beliau mengajar
dan meminta orang tersebut untuk menceritakan kisahnya. Dia berkata,
‘Tuanku, sewaktu aku masih muda aku adalah seorang penyanyi bagus yang
dikenal banyak orang. Tetapi setelah aku tua, tidak ada seorangpun yang
memperhatikan aku. Aku pergi dari Baghdad dan berkata dalam hati, “aku
tidak akan menyanyi kecuali untuk yang mati”. Saat aku mengelilingi
kuburan ini, aku duduk di salah satu kuburan yang ternyata telah
terbelah dan nampak kepala mayat yang ada di dalamnya. Mayat tersebut
berkata kepadaku, “Mengapa engkau menyanyi untuk orang-orang mati,
bernyanyilah untuk Yang Maha Hidup sekali maka Dia aakn memberikan
kepadamu apa yang engkau inginkan”. Akupun jatuh pingsan, dan setelah
tersadar aku berkata Tuhanku, aku persiapkan apa yang aku miliki untuk
hari pertemuan dengan-Mu, kecuali pengharapan hati dan ucapan mulutku.
Memang, sudah asalnya para pengharap mengharapkan harapan dan mereka
akan bersedih apabila engkau menolaknya Jika hanya golongan Muhsin yang
boleh berharap kepadaMu, lalu kepada siapa si pendosa berlindung dan
melarikan diri.
Ubanku membuatku jelek di hari penghabisan dan
perjumpaan denganMu, semoga engkau menyelamatkan aku dari apiku. Saat
aku berdiri, pelayan anda datang membawakan emas ini”. Sambil mematahkan
tongkat kayu yang ada di tangannya dia berkata, sekarang aku bertobat
kepada Allah’. Usai mendengarkan kisah tersebut, Syaikh Abdul Qadir
berkata, “Yaa fuqara’ , jika kejujuran (orang ini) terhadap sesuatu yang
sia-sia saja menyebabkannya memperoleh apa yang ia inginkan, apalagi
dengan para sufi yang bersungguh-sungguh dalam kesufian, ahwal dan
thariqahnya”. Kemudian beliau melanjutkan, “hendaklah kalian berlaku
jujur, dan bersih hati. Tanpa keduanya, tidak mungkin seorang hamba
untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Apakah kalian tidak mendengar
firman Allah, “Jika berbicara hendaklah kalian berkata jujur””. Saat
beliau meminta 100 dinar, ada 40 orang mengantar jumlah yang sama kepada
beliau. Beliau hanya mengambil dari satu oraang, dan setelah orang ini
bertaubat, sisa dari uang pemberian tersebut beliau bagikan kepada
orang-orang. Peristiwa hari itu menyebabkan 5 orang meninggal dunia.
Al-Kaimani, Al-Bazaar, dan Abu Hasan Al-Ali yang dikenal dengan
As-Saqazar bercerita bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban tahun 529
H. Syaikh Abdul Qadir bersama rombongan mengunjungi pekuburan Syunizi.
Beliau berhenti di pekuburan Syaikh HammadAd-Dabbas agak lama kemudian
menlanjutkan perjalanannya dengan muka berseri-seri. Pada saat ditanya
sebab lamanya beliau berhenti dan berseri-serinya muka Beliau, sang
Syaikh menjawab, “Pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 499 H aku bersama
murid Syaikh Hammad mengikuti beliau keluar Baghdad.
Setibanya di
jembatan Yahud, beliau mendorongku sampai aku tercebur ke sungai-pada
saat itu udara sangat dingin-kemudian mereka berlalu dan meninggalkanku.
Aku berkata dalam hati, “Aku berniat mandi Jum’at”. Saat itu aku
mengenakan jubah sufi dan di lenganku terdapat sebuah jubah lagi yang
membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku kemudian keluar dari
air dan memeras jubah tersebut dan menyusul mereka dalam kondisi
kedinginan hingga menusuk ke tulang. Melihat kondisiku, para murid
bermaksud hendak menolongku namun beliau melarangnya seraya berkata,
“Apa yang aku lakukan adalah untuk mengujinya, dan aku mendapatinya
bagai gunung, kokoh tak bergerak”. “Hari ini aku melihat beliau dalam
kubur memakai jubah dari cahaya bertabur permata. Di atas kepalanya
terdapat mahkota dari Yakut . di tangan kirinya terdapat gelang dari
emas dan beliau memakai dua sandal dari emas. Tapi tangan kanannya
hilang. ‘Ada apa dengan lengan ini ?’ tanya ku kepada beliau. Beliau
menjawab, ‘inilah tangan yang aku pergunakan untuk mendorongmu’.
Kemudian beliau berkata, ‘maukah engkau memaafkan perbuatanku itu ?’
‘Ya’ jawabku. ‘jika demikian’ kata beliau, ‘mohonkan kepada Allah agar
Dia mengembalikan lenganku seperti sedia kala’. Akupun memohonkan kepada
Allah untuk itu dan pada saat itu 5000 wali turut memohon kepada Allah,
mendukungku dari kubur mereka. Aku terus memohon kepada Allah hingga
akhirnya Allah mengembalikann lengan kanannya dan beliau menjabat
tanganku dengan tangan kanan tersebut.
Dengan demikian sempurnalah
kebahagiaannya dan kebahagiaanku.” Ketika kabar tersebut tersebar di
Baghdad para murid Syaikh Hammad beramai-ramai mendatangi sang Syaikh
untuk meminta klarifikasi atas pernyataan tersebut. Setibanya di
madrasah beliau, sebagai rasa hormat mereka kepada beliau, tidak ada
seorangpun yang memulai pembicaraan. Beliaupun kemudian memulai
pembicaraan dengan menerangkan maksud kedatangan mereka saat itu.
Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalian pilih dua orang. Insya
Allah melalui mereka berdua akan jelas apa yang aku ucapkan”. Mereka
kemudin memilih Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Yang pada saat itu ada di
Baghdad, dan Syaikh Abdurrahman AL-Kurdi yang memang tinggal di Baghdad.
Mereka berdua termasuk orang-orang yang dianugerahi kasyf .’Kami
serahkan urusan ini kepada kalian’ kata mereka kepada kedua Syaikh
tersebut. ‘Bahkan kalian jangan beranjak dari tempat kalian berada
sampai terbukti apa yang aku ucapkan’ kata beliau kepada mereka.
Kemudian beliau menghentakkan kakinya ke tanah dan pada saat itu para
sufi di luar telah berteriak memberitahu bahwa Syaikh Yusuf Al Hamdani
RA telah datang dengan berjalan bertelanjang kaki sampai beliah masuk ke
madrasah sang Syaikh. Di sana beliau berkata, ‘Aku bersaksi bahwa
Syaikh Hammad Ad-Dabbas berkata kepadaku, “Cepatlah datangi majlis
Syaikh Abdul Qadir dan katakan pada para Syaikh yang hadir bahwa apa
yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir adalah benar adanya’. Beliau
sempat menamatkan perkataannya, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman Al-Kurdi
datang dan beliau menyatakan pernyataan seperti yang dikatakan oleh
Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Setelah mendengarken pernyataan tersebut,
mereka bangkit dan memohon maaf kepada Syaikh Abdul Qadir”. Seseorang
berkata kepada beliau, “Kami berpuasa seperti yang Anda lakukan, dan
melaksanakan shalat sepertiyang Anda lakukan.
Tapi tidak ada satupun
kondisi spiritualmu yang dapat kami lihat”. Beliau berkata, “kalian
dapat bersaing denganku dalam hal melaksanakan amal, akan tetapi kalian
tidak dapat bersaing denganku dalam hal anugerah yang diberikan
kepadaku. Demi Allah, aku tidak akan makan sampai Allah berkata
kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, makan’. Aku juga tidak minum sampai
Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, minum’. Dan aku tidak
akan melakukan sesuatu kecuali berdasarkan perintah Allah”. Syaikh Abdul
Qadir berkata, “Pada suatu ketika di masa mujahadahku (perjuangan) aku
tertidur. Dalam tidur tersebut aku mendengar suara yang berkata
kepadaku, ‘Ya Abdul Qadir, Kami tidak menciptakanmu untuk tidur. Kami
telah hidupkan engkau maka jangan lupakan Kami’”. Syaikh Abu Naja
Al-Baghdadi, pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa pernah suatu
ketika hutang sang Syaikh kepada beberapa orang telah mencapai 250
dinar, lalu datanglah oraaang yang tidak aku kenal dan masuk tanpa ijin
lalu duduk dihadapan sang Syaikh. Dia mengeluarkan uang seraya berkata,
“ini adalah pembayar hutang” kemudian ia pergi. Kemudian beliau
memerintahkan agar uang tersebut dibagikan kepada yang berhak. Kemudian
–kata Syaikh Abu Naja- ketika aku menanyakan siapa orang tersebut, sang
Syaikh berkata, “Dia adalah yang berjalan menurut Al-Qadar”. “Siapa yang
berjalan menurut Al-Qadar” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Dia adalah
malaikat yang diutus Allah kepada para waliNya yang memiliki hutang
untuk melunasi hutang-hutang mereka”. Syaikh Uday bin Abu Barakat
meriwayatkan bahwa ayahnya meriwayatkan dari pamannya Syaikh Uday bin
Musafir. Beliau berkata, “suatu ketika saat Syaikh Abdul Qadir
memberikan pengajaran, turunlah hujan yang membuat orang-orang
berpencar. Sang Syaikh menengadahkan kepalanya kep arah langit dan
berkata, ‘Aku mengumpulkan mereka untukMu dan Engkau cerai beraikan
mereka seperti ini’. Seketika itu pula hujan berhenti, tidak ada satu
tetespun air yang turun di majlis tersebut sedangkan di luar madrasah
hujan tetap lebat”. Syaikh AbdulLah Al-Jaba’I meriwayatkan, “ Pada suatu
hari Syaikh Abdul Qadir sedang berbicara tentang bagaimana
menghilangkan ujub.
Tiba-tiba Beliau memalingkan Muka Beliau kepadaku
dan berkata, ‘Apabila engkau melihat sesuatu yang berasal dari Allah dan
hal tersebut menggiringmu untuk melakukan kebaikan serta engkau dapat
melepaskan dirimu dari (meminta) penjelasan akan hal tersebut maka
engkau telah lepas dari sifat ujub’”. Syaikh orang-orang sufi, Syaikh
Syihabuddin Umar As-Sahrawardi berkata, “Dulu saat aku masih muda, aku
menenggelamkan diriku untuk mempelajari ilmu kalam. Aku hafal berbagai
karangan dalam bidang tersebut dan segera menjadi seorang pakarnya.
Pamanku telah memperingatkanku akan hal tersebut namun aku tidak
mempedullikannya, sampai suatu hari aku dan dia menziarahi Syaikh Abdul
Qadir. Beliau berkata kepadaku, ‘’Umar, Allah SWT berfirman, ‘Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin),
sebelum pembicaraan itu’. Kami adalah orang-orang yang kalbunya selalu
mendapatkan bisikan dari Allah. Sekarang lihatlah posismu di hadapan
Allah agar engkau dapat melihat keberkahan melihat-Nya”. “ketika kami
sudah duduk bersamanya, pamanku berkata kepada beliau, ‘Kmenakanku ini
menyibukkan dirinya dengan ilmu kalam. Aku sudah larang dia akan tetapi
dia tidak mematuhiku’. Mendengar penuturan pamanku, beliau mengulurkan
tangannya yang penuh berkah ke dadaku dan berkata, ‘Kitab apa saja yang
telah engkau hafal ?’. Akupun menjawab dengan menyebutkan berbagai kitab
yang telah aku hafal. Demi Allah, saat beliau mengangkat tangannya dari
dadaku, tidak ada satu katapun dari kitab-kitab, yang sebelumnya aku
hafal di luar kepala, yang masih aku ingat. Saat itu juga Alah Ta’ala
telah melupakan aku tentang berbagai masalahnya dan menanamkan dalam
dadaku ilmu laduni. Aku bangkit dari hadapannya sambil berbicara dalam
bahasa hikmah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Umar, engkau adalah
orang-orang terakhir yang termasuk golongan orang-orang masyhur di
Iraq”. Syaikh Abdul Qadir adalah Sulthan ahl-Thariqah yang dianugerahi
otoritas atas semua eksistensi. Abu Faraj bin Hamami bercerita, “Aku
banyak mendengar cerita-cerita mustahil yang muncul dari Syaikh Abdul
Qadir Al Jailani ra. Yang tidak dapat aku terima. Akan tetapi karena
itulah aku ingin sekali bertemu dengan beliau. Suatu saat, aku pergi ke
Bab Al-Azij untuk suatu keperluan. Ketika pulang aku melewati
madrasahnya dan tepat pada saat itu muazin telah mengumandangkan shlalat
ashar.
Dalam hati aku berkata, ‘aku akan shalat ashar dan berkenalan
dengan sang Syaikh’. Saat itu aku lupa bahwa aku belum berwudhu dan
langsung shalat. Setelah selesai shalat, Syaikh Abdul Qadir menjumpaiku
dan berkata kepadaku, ‘Anakku, jika engkau datang kepadaku dengan suatu
hajat pasti akan aku kabulkan. Sayangnya sekarang engkau benar-benar
lupa bahwa engkau belum berwudhu ketika melakukan shalat’. Pengetahuan
beliau terhadap sesuatu yang tersembunyi menimbulkan kekaguman kepadaku
akan kkondisi spiritual yang telah beliau capai. Sejak saat itu aku
selalu mengikutinya, mencintainya dan emlayaninya. Dari keajdian
tersebut aku mengetahui keluasan berkah beliau”. Al-Jaba’I berkata,
“ketika mendengar kitab Haliyatul Auliya’ oleh ibnu Nashir, terbetik
dalam hatiku untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari manusia dan
menyibukkan diri beribadah. Saat shalat Ashar, aku berjama’ah bersama
Syaikh Abdul Qadir. Selesai shalat beliau melihat ke arahku dan berkata,
‘jika engkau benar-benar ingin berkontemplasi (khalwat), maka jangan
lakukan itu sebelum engkau benar-benar menguasai agama, bergaul dengan
para Syaikh dan belajar dari mereka. Saat itulah engkau boleh
berkontemplasi (khalwat). Jika engkau tidak melakukan itu maka engkau
akan terputus sebelum engkau menjadi ahli dalam bidang agama. Engkau
juga akan merasa bangga atas apa yang engkau miliki. Tapi ketika ada
masalah agama yang engkau tidak ketahui, engkau akan keluar dari
zawiyahmu dan bertanya kepada orang-orang tentang hal tersebut.
Sebaik-baik kontemplator (orang yang berkhalwat) adalah mereka yang
bagaikan lilin, amemberikan penerangn dengan cahayanya”. Syaikh Abu
Abbas Al-Khidr Al-Husain Al-Maushuli meriwayatkan, “pada suatu malam,
saat kami sedang berada di madrasah Syaikh Abdul Qadir, datanglah
khalifah AL-Mustanjid biLlah Abu Mudzaffar Yusuf bin Al-Imam Al-Muftaqi
li amriLlah Abu AbduLlah Muhammad Ad-Dabbas. Beliau mengucapkan salam
kepada sang Syaikh dan memohon nasihatnya sambil meletakkan 10 kantung
uang yang dipikul oleh 10 orang budak. Syaikh berkata, “Aku tidak
membutuhkan ahrta ini”. Namun sang Imam berkeraas agar Syaikh Abdul
Qadir menerimanya. Syaikh Abdul Qadir kemudian mengambil 2 kantung uang
yang paling besar dan paling berat lalu memeras keduanya dengan tangan
beliau, maka mengalirlah darah.
Berkatalah Syaikh kepada Khalifah,
‘Mudzafar, engkau peras darah rakyat lalu engkau berikan kepadaku.
Tidakkah engkau malu kepada Allah ?’. sang khalifahpun pigsan mendengar
hal tersebut. Kemudian sang Syaikh emlanjutkan, ‘Kalau buan karena rasa
hormatku kepada garis keturunannya dengan RasuluLlah SAW, akan aku
biarkan darah tersebut mengalir hingga pintu istananya’. Syaikh Abu
Hasan Ali Al-Quraisy berkata, “saat aku menghadiri salah satu majlis
sang Syaikh tahun 559 H datanglah rombongan golongnan rafidah membawa
dua buah keranjang tertutup dan berkata kepada beliau, ‘Beritahu kami
apa isi dua keranjang ini’. Beliau turun dari kursi dan mengulurkan
tangannya memegang salah satu keranjang tersebut dan berkata, ‘Yang ini
berisi anak yang lumpuh’. Lalu beliaiu memerintahkan puteranya
Abdurrazaq membuka keranjang tersebut dan isinya seperti yang beliau
ucapkan. Beliau pegang kaki anak tersebut kemudian berkata, ‘Bankitlah
dengan ijin Allah’. Seketika anak tersebut bangkit. Kemudian beliau
memegang keranjang yang lain dan berkata, “keranjang ini berisi anak
yang sehat dan tidak cacat’. Ketiak keranjang tersebut dibuka, maka
keluarlah seorang anak yang sehat, sang Syaikh memegang ubun-ubunnya dan
berkata, ‘Duduklah’. Seketika itu pula anak tersebut menjadi lumpuh.
Rombongan rafidah tersebut bertobat di hadapan beliau dan pada saat itu 3
orang meninggal dunia’. Diriwayatkan, dari Yahya bin Junah Al-Adib
bahwasanya beliau berkata, “Dalam hati aku berkata”. ‘Aku ingin
menghitung berapa banyak sang Syaikh melantunkan sya’ir di dalam
majlisnya dengan menggunakan benang dari pakaianku. Akupun kemudian
menghadiri majlis pengajiannya dan setiap beliau melantunkan sya’ir maka
aku ikatkan benang di bawah pakaianku.
Ditengah-tengah beliau bersya’ir
tiba tiba beliau berkata, ‘Aku melepaskan ikatan sedang engkau
mengikatnya’”. Syaikh Abu Hasan (Ibnu Syathantah) Al-Baghdadi berkata,
“Saat aku belajar kepada sang Syaikh, aku sering berjaag di malam hari
untuk melayani beliau. Pada suatu malam di bulan Shafar tahun 553 H, aku
melihat beliau keluar dari ruangannya. Akupun menyodorkan tempat air
untuk berwudhu kepada beliau namun beliau tidak mempedulikan tawaranku
dan terus bergerak menuju pintu madrasah. Kemdian beliau memberi isyarat
kepada pintu madrasah tersebut maka pintu itupun terbuka dengan
sendirinya. Kemudian beliau terus berjalan keluar sementara aku
mengikutinya dari belakang. Aku berkata dalam hatiku bahwa beliau tidak
mengetahui kalau aku ikuti dari belakang. Beliau terus berjalan ke arah
pintu gerbang kota Bagdad, maka beliaupun memberikan isyarat kepada
pintu tersebut dan pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kami terus
berjalan, namun tak berapa lama tibalah kami di suatu tempat semacam
ribath yang sama sekali tidak aku ketahui. Di dalam ribath tersebut
terdapat 6 orang yang sedang duduk, dan ketika mereka mengetahui
kedatangan Syaikh Abdul Qadir maka merekapun segera menyambut beliau
seraya mengucapkan salam. Aku segera pergi ke sudut bangunan tersebut
dan dari dalam bangunan terdengarlah suara dengungan dan rintihan. Tak
berapa lama, suara tersebut berhenti , kemudian seorang pria masuk ke
dalam ruangan yang tadi terdengar rintihan lalu keluar dengan membawa
seseorang di atas pundaknya.
Setelah itu seseorang yang tidak mengenakan
sesuatu di kepalanya dengahn kumis yang lebat masuk dan duduk di
hadapan sang Syaikh dan kemudian mengambil dua kalimah syahadah dari
beliau kemudian memotong kumis serta rambutnya. Setelah itu beliau
kenakan thaqiyah (topi) di kepalanya dan memberikan nama Muhammad
kepadanya serta berkat kepada yang lain, ‘Aku telah diperintahkan untuk
menjadikannya sebagai ganti dari yang meninggal’. ‘Kami mendengar dan
patuh’ jawab yang lain. Baliau lalu keluar dari ruangan tersebut seraya
meninggalkan mereka. Setelah itu beliau berjalan dan tak lama kami tiba
di pintu gerbang kota Baghdad. Pintu tersebut kembali terbuka dan
menutup dengan sendirinya setelah kami melewatinya. Demikian juga tak
berapa lama kami tiba di Madrasah kemudian memasukinya. Keesokan harinya
aku mohon kepada sang Syaikh untuk menceritakan apa yang aku lihat.
Maka beliaupun menjawab, “Adapun negeri yang kita datang kemarin adalah
negeri Nahawand. Enam oran yang engkau lihat adalah para wali abdal dan
suara dengungan yang engkau dengar adalah wali yang ke tujuh. Dia sedang
sakit dan aku hadir di sana untuk melayatinya. Adapun orang yang aku
ambil syahadatnya adalah seorang nashrani dari Konstantinopel dan aku
perintahkan ia untuk menjadi ganti ari si mayit. Adapun orang yang masuk
dan keluar sambil menggendong jenasah adalah Abul Abbas Al-Khidhir AS
yang diperintah Allah untuk mengurus jenasah wali yang wafat”. Kemudian
beliau mengambil sumpahku untuk tidak menceritakan peristiwa tersebut
selama beliau masih hidup. Beliau berkata, “Takutlah kamu untuk tidak
membuka rahasia ini selama aku masih hidup”. Abu Sa’id AbdulLah bin
Ahmad bin Ali Al-Baghdadi Al-Azji bercerita, “Pada tahun 537 H anak
perempuanku seorang perawan berusia 16 tahun naik ke atas atap rumahku
dan kemudian hilang.
Akupun pergi menghadap Syaikh Abdul Qadir dan
menceritakan hal tersebut. Beliau berkata kepadaku, “Pergilah ke
pegunungan Al-Karh. Duduklah di puncak ke lima dan buatlah tanda
lingkaran di sekitarmu sambil berkata, ‘BismiLlaahiRrahmaanirRahiim,
atas niat Syaikh Abdul Qadir. Nanti ketika hari mulai gelap akan banyak
jin yang melewatimu. Mereka tidak akan dapat menyakitimu. Pada waktu
sahur, raja raja mereka akan lewat beserta bala tentaranya dan mereka
akan menanyakan maksud kedatanganmu. Saat itulah ceritakan kepada mereka
perihal anakmu’. Akupun melaksanakan perintah tersebut. Ketika hari
muali gelap, geromblan jin dengan bentuk yang sangat menakutkan namun
mereka tidak dapat menyakitiku atau menggangguku. Gerombolan demi
gerombolan terus berlalu hingga waktu sahur datanglah raja mereka dengan
mengendarai seekor kuda dan berdiri di luar lingkaran menghadap ke
arahku. Dia berkata, ‘hai manusia apa keperluanmu’. “Syaikh Abdul Qadir
mengutusku kepadamu”. Jawabku. Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir
maka raja jin tersebut turun dari kudanya mencium tanah dan duduk,
begitu pula dengan para jin lain yang menyertainya.
Kemudian ia berkata,
‘apa yang terjadi pada dirimu ?’. akupun menceritakan kepada mereka aka
kisah puteriku yang hilang. Setelah mendengar penuturanku, dia berkata
kepada para jin, ‘Siapa yang melakukan ini’. Tidak ada satu jinpun yang
mengakuinya. Lalu datanglah seorang jin bersama anakku. Sang raja
berkata, ‘ini adalah pembangkang dari negeri cina’. ‘apa yang
mendorongmu berani melakukan hal ini di bawah atap sang qutb ?’.
tanyanya kepada jin tersebut. Jin tersebut berkata, ‘perempuan tersebut
menarik hatiku dan aku mencintainya’. Sang raja kemudian memerintahkan
jin tersebut untuk dipenggal kepalanya dan menyerahkan anakku kembali.
Aku berkata kepadanya, ‘Aku belumpernah melihat jin dengan derajad
tinggi sepertimu memenuhi perintah Syaikh Abdul Qadir’. Dia berkata,
‘Benar, dari rumahnya beliau memandang kepada jin pembangkang yang pada
waktu itu berada di dasar bumi.kewibawaannya membuat para pembangkang
tersebut kembali ke tempat mereka. Sesungguhnya jika Allah mengangkat
seorang Qutb maka Dia akan menjadikannya sebagai Qutb diantara jin dan
manusia’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar