Al-Hasan
bin Abi 'Hasan al-Basri dilahirkan di Madinah dalam 21 H (642 M), putra
dari seorang budak ditangkap di Maisan yang kemudian menjadi pelayan dari
Nabi Muhammad (saw)' s sekretaris Zaid bin Thabet .
Beliau
dibesarkan di Basra, beliau dihormati sebagai salah satu dari
orang-orang kudus terbesar Islam awal. Ia meninggal di Basra di 110 H
(728 M). Banyak pidato-nya dia adalah orator brilian dan ucapan yang
dikutip oleh penulis Arab dan tidak sedikit dari surat-suratnya telah
diawetkan.
Pada
Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa
mantan “maula” (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seorang putera
mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar
berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya
itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.
Ibu
muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat
disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas
maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya.
Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang
masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu
sangat menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya
Ummu Salamah. “Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk
menamainya” jawab Khairoh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin
berseri-seri, seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama
Al-Hasan.” Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara
pemberian nama.
Al-Hasan
bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama
generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah
seorang isteri Rasulullah SAW: Hind binti Suhail yang lebih terkenal
sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah seorang puteri Arab yang paling
sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal –
sebelum Islam – sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah
mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri
Rasulullah SAW.
Waktu
terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubun¬gan antara
Al-Hasan dengan keluarga Nabi SAW, semakin terbentang luas kesempatan
baginya untuk ber”uswah” (berteladan) pada ke¬luarga Rasulullah SAW.
Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta
mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid
Nabawiy.
Ditempa
oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu
meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa
Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan
sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya.
Al-Hasan
sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta
kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian
tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan
begitu terpesona.
Pada
usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah,
Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan
sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam
Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi
halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering
singgah ke kota ini.
Di
Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti
halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu
tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra
dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang
lain.
Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri
sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang
terpercaya.
Keluasan
dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang
yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu
menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan
air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke
seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.
Ketika
Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan
kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat
melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani
mengajukan kritik atasnya atau menen¬tangnya. Hasan Al-Basri adalah
salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan
kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri
pernah menguta¬rakan kritiknya yang amat pedas.
Saat
itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah.
Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang
untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri
menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj:
“Kita
telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga
telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan
lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu …
karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Kritik
itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik
kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!”
Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari
orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia
dan tidak menyembunyikannya.”
Begitu
mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya,
“Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci
maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya?
Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Semua
mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar. Hasan Al-Basri
berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan
algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan
seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau
hadapi sang tiran.
Melihat
ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna.
Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan
Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan
mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.
Mulailah
Al-Hajaj menanyakan berba¬gai masalah agama kepada sang Imam, dan
dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona.
Semua pertanyaan¬nya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan
untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya,
“Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika
hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda
baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan
PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan
keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan
menyelamatkan Ibrahim.”
Nasihatnya
yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq,
Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh
adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah
menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya.
Ia berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan
mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk
memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan
dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …”
Berkata
Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika
engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau
mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak
mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau
mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di dunia,
akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari
siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.” Berderai air
mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam
itu.
Pada
malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi
panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Pendu¬duk Basrah
bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke
pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar
berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni
Konversi Hasan dari Basra
Awal
Hasan dari Basra konversi adalah sebagai berikut. Dia adalah seorang
pedagang permata dan disebut Hasan dari Mutiara. Ia diperdagangkan
dengan Byzantium, dan ada hubungannya dengan para jenderal dan menteri
Caesar. Pada satu kesempatan, akan Bizantium ia meminta perdana menteri
dan berbicara dengan dia sementara waktu.
"Kita akan pergi ke suatu tempat tertentu," kata menteri itu, "jika Anda menyenangkan."
"Ini adalah bagi Anda untuk berkata," jawab Hasan. "Saya setuju."
Jadi
menteri memerintahkan kuda yang akan dibawa untuk Hasan. Dia naik
dengan menteri, dan mereka berangkat. Ketika mereka sampai di padang
pasir Hasan dianggap suatu tenda dari brokat Bizantium, diikat dengan
tali gantungan sutra dan emas, mengatur perusahaan di tanah. Dia berdiri
di satu sisi. Lalu tentara perkasa, semua accoutred di persenjataan
lengkap perang, keluar, mereka mengelilingi tenda, mengatakan beberapa
kata, dan berangkat. Filsuf dan sarjana untuk jumlah hampir empat ratus
tiba di tempat kejadian; Mereka mengelilingi tenda, mengatakan beberapa
kata, dan berangkat.
Setelah
itu tiga ratus tetua diterangi dengan janggut putih mendekati tenda,
dilingkari itu, berkata sedikit, lalu pergi. Setelah lebih dari dua
ratus
gadis
bulan-adil, masing-masing membawa sepiring emas dan perak dan batu
mulia, mengelilingi tenda, mengatakan beberapa kata, dan berangkat.
Hasan menceritakan bahwa, heran dan penuh dengan heran, ia bertanya pada dirinya sendiri apa ini mungkin.
"Ketika
kami turun," ia melanjutkan, "tanya saya menteri. Dia mengatakan bahwa
Caesar memiliki seorang putra keindahan tidakpasti, sempurna di semua
cabang belajar dan tak tertandingi di arena kehebatan jantan. Ayahnya
mencintainya dengan sepenuh hati. "
Tiba-tiba
ia jatuh sakit. Semua dokter terampil terbukti tak berdaya untuk
menyembuhkannya. Akhirnya ia meninggal, dan dimakamkan di tenda itu.
Setelah setiap orang per tahun datang keluar untuk mengunjunginya.
Pertama sebuah lingkaran tenda tentara yang sangat besar, dan mereka
berkata: "O pangeran, jika keadaan yang menimpa engkau telah terjadi
dalam perang, kita akan memiliki semua mengorbankan hidup kami untuk
engkau, kepadamu tebusan kembali. Tetapi keadaan yang telah menimpa kamu
adalah di tangan Satu terhadap yang kita tidak bisa melawan, Siapa kita
tidak bisa
tantangan. "Ini yang mereka katakan, dan kemudian kembali.
Para
filsuf dan para ulama maju ke depan, dan berkata: "keadaan ini telah
dibawa oleh Satu terhadap Siapa kita tidak bisa melakukan apa pun dengan
cara belajar dan filsafat, ilmu pengetahuan dan menyesatkan. Untuk
semua para filsuf dunia tidak berdaya di hadapanNya, dan semua belajar
bodoh di samping pengetahuan-Nya.
Kalau
tidak kita akan memiliki perangkat buat dan kata-kata yang diucapkan
semua dalam penciptaan tidak bisa bertahan "ini yang mereka katakan, dan
kemudian kembali..
Berikutnya
kemajuan tua-tua yang dihormati, dan berkata: "O pangeran, jika keadaan
yang telah menimpa kamu bisa benar telah ditetapkan oleh perantaraan
para tetua, kita semua akan menengahi dengan petisi rendah hati, dan
tidak akan meninggalkan engkau di sana. Tetapi keadaan ini telah dibawa
atasmu oleh Satu terhadap siapa tidak ada syafaat manusia biasa yang
keuntungan apa pun. "
Ini mereka katakan, dan berangkat.
Sekarang
bulan-wajar mereka gadis-gadis dengan piring emas dan batu berharga
muka, lingkaran tenda, dan berkata: "Anak Caesar, jika keadaan yang
menimpa
kamu
bisa ditetapkan hak oleh kekayaan dan kecantikan, kami akan
mengorbankan diri kita sendiri dan diberikan uang besar, dan tidak akan
meninggalkan engkau. Tetapi keadaan ini telah dibawa atasmu oleh Satu
pada kekayaan dan keindahan Siapakah berpengaruh. "Ini yang mereka
katakan, dan kembali.
Kemudian
Caesar diri dengan kepala menteri memasuki tenda, dan berkata: "mata O
dan lampu ayahmu, wahai buah hati ayahmu, hai tercinta tersayang Mu
ayah,
apa yang di tangan ayahmu untuk tampil? ayah-Mu membawa pasukan besar,
ia membawa filsuf dan cendekiawan, syafaat dan penasihat, gadis cantik,
kekayaan
dan segala macam kemewahan, dan dia datang sendiri. Jika semua ini bisa
saja sia-sia, ayahmu akan melakukan semua yang berada dalam
kekuasaannya. Tapi situasi ini telah dibawa oleh Satu sebelum siapa
ayahmu, dengan semua alat ini, tentara dan rombongan, ini mewah dan
kekayaan dan harta, tidak berdaya.
Salam bagimu, sampai tahun depan "katanya ini!, dan kembali.
Kata-kata
menteri sehingga terpengaruh Hasan bahwa ia lupa diri. Saat itu dia
membuat pengaturan untuk kembali. Datang ke Basra, ia bersumpah untuk
tidak pernah tertawa lagi di dunia ini, sampai tujuan akhir nya menjadi
jelas baginya. Ia melempar diri ke dalam segala macam devosi dan
austerities, sehingga tidak ada orang dalam nya waktu bisa melebihi
disiplin itu.
Suatu
cerita ketika Habib al-’Ajami sedang duduk di depan khaniqahnya
(pondokan untuk berdzikir), tiba-tiba Hasan al-Basri datang dengan
tergopoh-gopoh. “Oh Habib, sembunyikan aku karena Hajjaj, wakil
gubernur, mengutus tentaranya untuk menangkapku. Sembunyikan aku!” kata
Hasan al Basri. Dan Habib membalas “Masuklah ke dalam dan
bersembunyilah.” Hasan masuk ke dalam dan menemukan sebuah tempat untuk
bersembunyi. Beberapa saat kemudian, beberapa tentara menghampiri Habib,
“Apakah anda melihat Hasan al-Basri?”
“Ya, Aku melihatnya di dalam. Dia ada di dalam.”
Mereka
masuk ke dalam dan melihat ke sekeliling, melihat ke segala arah,
bahkan menyentuh kepala Hasan al-Basri, dan beliau melihat mereka dengan
ketakutan. Kemudian pasukan itu keluar, dan berkata kepada Habib,”Apa
sekarang anda tidak malu (karena) anda telah berdusta. Di mana dia?
Hajjaj akan berurusan dengan orang yang bekerja sama dengan Hasan
al-Basri, dan itu cocok dengan anda. Anda berkata bahwa dia berada di
dalam, apakah anda tidak malu telah berdusta!”
“Di dalam, Aku tidak berdusta. Dia di dalam.”
Sekali
lagi, mereka masuk. Lalu, dengan sangat marah, mereka pergi. Kemudian
Hasan al-Basri keluar. “Oh, Syaikh, apa ini? Aku datang kapadamu,
memintamu untuk menjagaku dan engkau mengatakan kepada tentara bahwa aku
berada di dalam.” “Ya Hasan, ya Imam, najawt min sidqi-l-kalaam –engkau
diselamatkan oleh kebenaranku! Aku mengatakan kebenaran dan Allah
melindungimu karena aku berkata dengan jujur. Aku berkata, “Wahai
Tuhanku, ini adalah Hasan al-Basri, hamba-Mu, dia datang meminta
pertolonganku, berkata, ‘Sembunyikan aku, jagalah aku!’ Aku tidak bisa
melindunginya. Aku mempercayakan dia kepada-Mu, menyerahkan dia
kepada-Mu sebagai amanat dariku. Engkau melindunginya.’ Aku hanya
mengatakan hal itu dan membaca Ayat al-Kursi.”
Karena itulah para tentara tiada pun dapat melihatnya.
Pada
suatu hari, Hasan Al-Basri pergi lagi mengunjungi Habib Ajmi, seorang
sufi besar lain. Pada waktu salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak
melafalkan bacaan salatnya dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan
memutuskan untuk tidak salat berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang
pantaslah bagi dirinya untuk salat bersama orang yang tak boleh
mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di
malam harinya, Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara
kepadanya, “Hasan, jika saja kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan
menunaikan salatmu, kau akan memperoleh keridaan-Ku, dan salat kamu itu
akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh salat
dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam bacaan salatnya, tapi
kau tak melihat kemurnian dan kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku lebih
menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang sempurna.
Ada
suatu cerita lagi, ada seseorang datang menemui Syekh al-Hasan. Dia
bercerita bahwa dirinya baru saja diumpat oleh si Fulan. Syekh al-Hasan
justru menyuruh orang tersebut untuk kembali menemui si Fulan.
“Ingat,
kata ulama, orang yang suka mengumpat memasang senjata untuk
melemparkan kebaikannya ke barat dan timur, serta ke kanan dan ke kiri,”
kata Syekh al-Hasan.
Orang
tadi lantas menuruti nasihat Syekh al-Hasan. Dia tak sekadar menemui
tapi juga membawakan sebakul kurma rutab. Sembari menyerahkan sebakul
kurma yang dibawanya, ia berkata dengan tenang: “Aku mendengar kabar
bahwa engkau telah menghadiahkan kebaikanmu kepadaku. Maka terimalah
kirimanku sebagai ucapan terimakasih.”
Apa
lagi sebenarnya yang dikatakan Syekh al-Hasan hingga lelaki yang
diumpat itu bisa sebaik demikian pada orang mengumpatnya? Ternyata,
Syekh al-Hasan –seperti dikisahkan oleh al-Ghazali—mengutipkan satu
nasehat yang pernah didengarnya dari Syekh Ibn Mubarak.
Bunyinya pendek sekali: “Jika aku suka mengumpat, tentu aku mengumpat ibuku, sebab ibuku berhak menerima kebaikanku.”
HASAN BASRI DENGAN TETANGGA NASHRANI
Imam
Hasan Al Bashri adalah seorang ulama tabi’in terkemuka di kota Basrah,
Irak. Beliau dikenal sebagai ulama yang berjiwa besar dan mengamalkan
apa yang beliau ajarkan. Beliau juga dekat dengan rakyat kecil dan
dicintai oleh rakyat kecil.
Imam
Hasan Al Bashri memiliki seorang tetangga nasrani. Tetangganya ini
memiliki kamar kecil untuk kencing di loteng di atas rumahnya. Atap
rumah keduanya bersambung menjadi satu. Air kencing dari kamar kecil
tetangganya itu merembes dan menetes ke dalam kamar Imam Hasan Al
Bashri. Namun beliau sabar dan tidak mempermasalahkan hal itu sama
sekali. Beliau menyuruh istrinya meletakkan wadah untuk menadahi tetesan
air kencing itu agar tidak mengalir ke mana-mana.
Selama
dua puluh tahun hal itu berlangsung dan Imam Hasan Al Bashri tidak
membicarakan atau memberitahukan hal itu kepada tetangganya sama sekali.
Dia ingin benar-benar mengamalkan sabda Rasulullah SAW. “Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya.”
Suatu
hari Imam Hasan Al Bashri sakit. Tetangganya yang nasrani itu datang ke
rumahnya menjenguk. Ia merasa aneh melihat ada air menetes dari atas di
dalam kamar sang Imam. Ia melihat dengan seksama tetesan air yang
terkumpul dalam wadah. Ternyata air kencing. Tetangganya itu langsung
mengerti bahwa air kencing itu merembes dari kamar kecilnya yang ia buat
di atas loteng rumahnya. Dan yang membuatnya bertambah heran kenapa
Imam Hasan Al Bashri tidak bilang padanya.
“Imam, sejak kapan Engkau bersabar atas tetesan air kencing kami ini ?” tanya si Tetangga.
Imam Hasan Al Bashri diam tidak menjawab. Beliau tidak mau membuat tetangganya merasa tidak enak. Namun …
“Imam,
katakanlah dengan jujur sejak kapan Engkau bersabar atas tetesan air
kencing kami ? Jika tidak kau katakan maka kami akan sangat tidak enak,”
desak tetangganya.
“Sejak dua puluh tahun yang lalu,” jawab Imam Hasan Al Bashri dengan suara parau.
“Kenapa kau tidak memberitahuku ?”
“Nabi
mengajarkan untuk memuliakan tetangga, Beliau bersabda, “Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya !”
Seketika itu si Tetangga langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia dan seluruh keluarganya masuk Islam
Demikian
sedikit kisah sufi Syaich Hasan al-Basri yang telah meninggal dan di
makamkandi Basrah, Iraq, pada 110 Hijrah (728 Masehi).
Minggu, 20 Agustus 2017
Syekh Abdul Qodir al-Jailani
Sulthanul
Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap
Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir
di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir
nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau
dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil
Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia
wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir
di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Bila dirunut ke
atas dari nasabnya, beliau masih keturunan Rasulallah Muhammad SAW dari
Hasan bin Ali ra, yaitu Abu Shalih Sayidi Muhammad Abdul Qadir bin Musa
bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun
bin Abdullah Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib ra.
Adapun silsilah beliau adalah :
- Syech Abdul Qodir Jailani adalah seorang putra dari Abi Sholeh Janaki
- Abi Sholeh Janaki putra dari Abdullah
- Abdullah putra dari Yahya AdJahidi
- Yahya AdJahidi putra dari Muhammad
- Muhammad putra dari Daud Assani
- Daud Putra dari Musa Assani
- Musa Assani putra dari Abdullah Assani
- Abdullah Assani putra dari Musa Aljuuni
- Musa Aljuuni putra dari Abdullah Al'Mahdi
- Abdullah Al'Mahdi putra dari Hasan Almusanna
- hasan almusanna putra dari Syaidina Husain (Cucunda Rosullullah Muhammad SAW)
- Syaidina Husain Putra dari Syaidina Ali Bin Abi tholib dan Siti Fatimah binti Rosulullah
PERJALANAN SYECH ABDUL QODIR AL-JAILANI
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang desebut 'pengalaman-pengalaman mistik'. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-Azam atau wali ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama' besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur'an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusata dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: "Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku." Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.
Beliau berusia 8 tahun ketika meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
[sunting] Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Ada suatu peristiwa yang terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: "Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku."
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: "Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu." "Enyahlah!, bentak sang wali." Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu".
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: "Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram." Sang Syaikh berucap: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk." Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: "Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku."
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak - dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
1. Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
2. Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
3. Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
4. Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur'an, Hadits, Ushul Fiqih,Tasawuf dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya', sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah - suatu amalan yang dianjurkan Qur'an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya
AJARAN BELIAU
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.
KAROMAHNYA
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang Wali qutub yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud dan ahli hakikat. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
PENDAPAT ULAMA SUFI TENTANG BELIAU
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab
Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya beliau, antara lain :
1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
2. Futuhul Ghaib.
Ketika ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."
Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."
Ibnu Rajab juga berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "
Imam Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."
Syaikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.
KESIMPULAN
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
KEDUDUKAN WALI QUTUB SYECH ABDUL QODIR JAILANI DIANTARA PARA WALI
Kedua Telapak Kakiku ada di punggung setiap Wali Allah Bismilahirrohmaanirrohiim Alhamdu Lilaahi Robbil”aalamiin Asholaatu Wasalaamu ‘ala Sayyidil Mursaliin, Sayidinaa wa Maulanaa Muhammadin wa ‘alaa AaliHi wa ShohbiHi wa ‘alainaa ma’ahum AmiinB Al-Hafid Abu Izza Abdul Mughist bin Harb Al-Baghdadi dan yang lainnya berkata ” Kita biasa hadir di majelis Syeh Abdul Qodir di ribathnya di Baghdad. Umumnya yang menghadiri majelis beliau adalah para Syaikh Iraq diantaranya ; Syaikh Alibin Hiti, Baqa bin Bathu’, Abu Sa’id Al-Qailawi, Musa bin Mahin , Abu NajibAssahrawardi, Abu karam, Abu Umar, Utsman Al Qursyi, Makarim al-Akbar, Mathar, Jaakir, Khalifah, Shidqah, Yahya Murtasyi, Ad-diya Ibrahim al-Juwaini, Abu Abdulah Muhammad al-Qazwaini, dan masih banyak lagi selanjutnya klik di siniAbu Ustman, Umar Ak-Batiahi, Qadib Al- Baan, Abul Abas Ahmad Al-Yamani, Abu Abas Ahmad Al-Qazwaini beserta muridnya Daud yang selalu melaksanakan Shalat fardhu di Makkah, Abu Abdulah Muhammad Al-Khas, Abu Umar, Ustman Al-Iraqi As-Syauki, yang konon merupakan salah seorang Rijal Ghaib ….dan lain sebagainya.
Dalam kondisi Spiritual sang Syaikh berkata “Kakiku ini ada di punggung setiap Wali”. Begitu mendengar tersebut Syeh Ali ASl-Hiti langsung bangkit dan meletakkan kaki Syeh Abdul Qodir Al-Jailani di pundaknya. Begitu pula dengan yang lain, mereka telah mengulurkan pundaknya untuk melaksanakan hal tersebut. Syeh Ali bin Abi Barakat Shakr bin Shakr meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar ayhnya pernah berkata “Aku penah berkata kepada pamanku Syeh Uday bin Musafir ‘Sepanjang pengetahuan anda selain Syeh Abdul Qodir Al-Jailani adakah para ulama terdahulu yang berkata ‘Kedua kakiku ini ada di pungggung setiap Wali Allah ?’ “Tidak” jawabnya. ‘Jika memang demiian sambungku, lalu apa makna dari perkataan tersebut ?’ Beliau berkata “itu artinya Syeh Abdul Qodir telah mencapai maqom wali Afrod . ‘Tapi bukankah di setiap generasi terdapat Wali Afrad bantahku lagi. “Benar tapi tidak ada seoranpun yang diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan kalimat ini” jawabnya. ‘Jadi memang beliau diperintahkan untuk mengucapkan kalimat tersebut ? tanyaku. ‘ya’ jawab beliau. Kemudian beliau berkata ‘karena adanya perintah tersebut mereka meletakkan kepala .
Bukankah engkau mengetahui bahwa para Malaikat as bersujud kepada Adam karena adanya perintah krpada mereka untuk melaksanakan hal tersebut. Syeh Baqa bin Bathu An-Nahri Al-Maliki berkata ” Syeh Abdul Qodir berkata’kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah’”. Berkenaan dengan itu Syeh Ibrahim dan Syeh Abi Hasan Ali Arrifa’i al-Bathiahi mwriwayatkan bahwa ayahnya pernah bertanya kepada pamannya Syeh Ahmad Arrifa’i ‘apakah pernyataan Syeh Abdul Qodir ‘ kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah berdasarkan perintah atau tidak?’ Pernyataan tersebut berdasarkan perintah jawab beliau. Dalam sebuah riwayat tyang dinisbatkan kepada Syeh Abi Bakaw bin Hawwar menyatakan bahwa veliau pernah berkata di majlisnya ,”Nanti akan muncul di Iraq seorang non arab yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan manusia. Namanya Abdul Qodir dan tinggalnya di Baghdad, Dia akan berkata ” Kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah” Dan setiap wali akan mengakui bahwa beliau adalah wali Afrad pada zamannya.
Sulthon Auliya dan Syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam berkata, ” Belum pernah kemutawatiran riwayat tenteang sebuah karomah yang sampai kepada kami sebanding dengan kemutawatiran karomah Syeh Abdul Qodir Al Jailani . Beliau adalah orang yang berpegang teguh kepada Syari’ah , menyeru orang-orang untuk melaksanakan syari’ah, dan menghindarkan diri dari yang dilarang olehNya. Beliau berbaur dengan masyarakat sambil terus menerus beribadah dan beliau bisa mencampurkannya dengan sesuatu yang menyibukkan beliau seperti menikah dan memiliki keturunan . Barang siapa yang mengikuti jalan ini maka ia lebih sempurna daripada yang lain. Ditambah lagi apa yang dinyatakan fdi atas merupakan karakter dari Rosulullohi SAW . Diantara karomah beliau adalah pernyataan beliau ‘Kedua telapak kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah. Hal tersebut dikarenakan kesempurnaan beliau tidak tertandingi pada masa itu yang tidak diragukan lagi menjadikannya berhak mendapatkan kehormatan tersebut.
Syeh Mathar meriwayatkan “Suatu hari ketika saya sedang berada di Zawiyah Syeh Abu Wafa’, guruku, di daerah Qailamaya beliau berkata kepadaku ‘Ya Mathar tutup pintu, jika ada seorang pemuda Ajam (non Arab) datang memohon untuk masuk maka jangan diberi dia ijin’. Akupun melaksanakan perintah beliau. ternyata yang datang adalah Syeh Abdul Qodir yang pada waktu itu masih seorang pemuda. Beliau mohon ijin untuk masuk namun Syeh Abu Wafa’ tidak mengijinkannya masuk. Saat itu aku melihat Syeh Abu Wafa’ berjalan hilir mudik dalam zawiyah dengan gelisah. Setelah itu beliau mengijinkannya untuk masuk. Ketika Syeh Abu Wafa’ melihat Syeh Abdul Qodir beliau melangkah mendekat dan memeluknya beberapa lama seraya berkata ‘Abdul Qodir‘ demi Yang Maha Agung aku tidak mengijinkanmu masuk pertama kali bukan karena keinginan zalim terhadap hakmu akan tetapi karena takut terhadap dirimu. Akan tetapi setelah aku ketahui bahwa engkau ingin belajar kepadaku dan menaatiku, baru aku merasa aman. Syaikh Abdurrahman At-Tahfsunaji berkata “Saat Syeh Abdul Qodir datang ke Zawiyah Tajul ‘Arifin Abu Wafa’ beliau berkata kepad para muridnya ‘ Berdiri dan smbutlah Wali Allah’-Pernyataan ini mungkin terjadi pada saat Syeh Abdul Qodir sedang berjalan menuju beliau atau dikeluarkan kepada mereka yang belum bediri ketika Syeh Abdul Qodir datang- Ketika beliau megulang-ulang perintah tersebut, seorang muridnya bertanya kepada beliau sebab pernyataan tersebut.
Beliau menjawab “Pada saatnya nanti pemuda ini akan menjadi sandaran baik golongan khas maupun awam. Aku seakan akan melihatnya seang berbicara di depan khalayak ,”Kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah”. dan pernyataan itu benar adanya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwea beliau adalah Qutb mereka pada saat itu. Barang siapa berjumpa dengannya pada sat itu, berkhidmadlah kepadanya. Syaikh musallamah bin Naimah As-Saruji ketika ditanya tentang siapakah Qutb itu, beliau menjawab, “Beliau sekarang ada di Makkah, bersembunyi dan hanya diketahui oleh orang-orang saleh. Dan akn muncul di sini (Iraq) seorang pemuda ‘ajam yang mulia bernama Abdul Qodir Akan tampak dari beliau beberapa Karomah yang luar biasa . Beliau adalah Qutb waktunya dan Ghauts Zamannya.
Baliau akan berkata di hadapan orang-orang “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah”, dan para Wali akan merendahkan punggungnya kepada beliau. Allah akan memberikan manfaat darinya dan dari karomahnya kepada siapa saja yang mempercayainya. Syaikh Ali Al-Hiti meriwayatkan, “ketika Syaikh Abu Wafa sedang berbicara di dalam majlis, masuklah Syeh Abdul Qodir . beliau memerintahkan para murid untuk mengeluarkannya dan meneruskan ceramahnya. Kemudian untuk yang ke tiga kalinya Syeh Abdul Qodir kembali masuk ke pengajian tersebut. Kali ini Syaikh Abu Wafa’ turun dari kursinya tempat menyampaikan pengajaran lalu memeluk beliau dan menciumi dahinya seraya berkata,’Para penduduk Baghdad, berdirilah demi Wali Allah ini. Perintahku untuk mengusirnya tidak lain agar kalian mengetahuinya bukan untuk menghinanya. Betapa mulia seorang hamba yang kibaran panji di atas kepalanya melingkupi timur dan barat’. Kemudian beliau berkata kepada Syeh Abdul Qodir , “Abdul Qadir, masa sekarang milik kami,dan kelak akan menjadi milikmu. Aku serahkan kepadamu Iraq.
Semua ayam akan berkokok dan berhenti kecuali kokokan ayammu yang tidak akan berhenti hingga hari kiyamat’. Setelah itu beliau memberikan sajadah, baju, tasbih , tempat makan dan tongkatnya kepada Syeh Abdul Qodir. ‘Ambil semua itu dengan bai’at saran seseorang kepadanya. Namun Syaikh Abu Wafa’ berkata, di dahinya terdapat bai’at Al-Makhzuumi’. Setelah majlis tersebut selesai, Taajul ‘arifiin Syaikh Abu Wafa’ turun dan duduk di akhir tangga tempatnya mencapaikan ceramah seraya menggenggam tangan Syeh Abdul Qodir dan berkata, ‘sekarang adalah waktumu.’ Jika beliau datang aku selalu teringat akan kisah ini dan kemuliaan beliau’. Syaikh Umar Al-Bazaar berkata, “tasbih yang diberikan Syaikh Abu Wafa kepada beliau dapat berputar sendiri biji-bijinya jika diletakkan di atas tanah. Setelah bellliau eninggal dunia, tasbih tersebut menjadi milik Syaikh Ali bin Al-Hiti. Begitu juga dengan tangan orang yang menyentuh tempat makan yang diberikan Syaikh Abu Wafa’ kepada beliau akan bergetar hingga bahunya”. Syaikh Muhammad Yusuf Al-Aquuli berkata”Aku berniat berziarah kepada Syeh Uday Bin Musafir. Ketika aku menghadap, beliau bertanya kepadaku ‘dari mana anda ?’Aku adalah salah seorang murid Syeh Abdul Qodir ‘ Jawabku.
Mendengar jawabanku bekliau berkata ‘Bagus, Qutb-Al arda (bumi) yang dengan pernyataannya “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah “ menjadikan 300 Wali dan 700 orang-orang Gaib yang berjalan di bumi maupun yang terbang, mengulurkan pundak mereka kepadanya dalam satu waktu”. Kemudian aku menziarahi Syeh Ahmad Rifa’i dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Syeh Uday saat itu dan beliau berkata “sungguh tepat apa yang disampaikan beliau (Syeh Uday). Syaikh Majid Al Kurdi berkata,”saat Syeh Abdul Qodir mengatakan pernyataan di atas, semua wali di bumi pada saat itu merendahkan lehernya sebagai tanda pengakuan mereka terhadap beliau. Dan tidak ada segolongan jin soleh pun yang tidak datang menghadapnya untuk bertobat dan mengakui beliau hingga mereka berdesak-desakan di pintu rumahnya. Riwayat ini disetujui oleh Syaikh Mathar. Kemudian beliau berkata, “Aku bertanya kepada Syaikh Abdullah bin Sayyidina Syeh Abdul Qodir Al-Jailani ,’apakah engkau menghadiri majlis saat ayahmu berkata ,’kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah , ‘ya’ jawabnya. Kemudian ia berkata,’ yang hadir pada saat itu sekitar 50 orang syaikh’. Ketiks beliau masuk ke dalam rumahnya, yang tersisa hanya Syaaikh Makarim, Syaikh Muhammad Al-Khas, dan Syaikh Ahmad Al-‘Aarini. ‘kamipun duduk dan berbincang-bincang’ ujarnya.
Syaikh Makarim berkata, “Allah memperlihatka kepadaku pada saat itu semua orang yang memiliki panji kewalian di muka bumi mengakui panji kequthuban di tangan beliau dan mahkota ghoutsiah di atas kepala beliau dan jubah otoritas total atas segala yang wujud/eksis , untuk mengangkatnya menjadi Wali atau menurunkannya sesuai syariat dan hakikat. Dan aku mendengar eliau berkata ,”kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah yang akan menundukkan kepala dan merendahkan dirinya kepada beliau bahkan termasuk di dalamnya para abdal yang sepuluh, usltan masa tersebut Masih berkenaan dengan pernyataan Sang Syaikh, Syeh Abu Sa’id Al-Qailawi berkata “ketika Syeh Abdul Qodir mengatakan ‘kedua telapak kakiku ini ada di setiap punggung Wali Allah’ , Allah Tajalli dalam jiwa beliau. Kemudian sekelompok malaikat datang membawakan jubah kebesaran Rosululloh SAW untuk dipakaikan kepada beliau di hadapan para Wali terdahulu maupun yang akan datang.-yang hidup datang dengan jasadnya, yng sudah meninggal datang dengan ruhnya. Para malaikat dan Rijal Al-Ghaib mengelilingi majlisnya dan berbaris ber shaf-shaf di udara , begitu banyak jumlahnya hingga seluruh ufuk penuh dengan kehadiran mereka.
Dan semua Wali yang ada di muka bumi ini menundukkan kepala untuk beliau”. Syeikh Kholifah Al Akbar bercerita “Saat aku bertemu dengan Rosululloh SAW dalam mimpi aku bertanya kepad beliau ,’ Yaa Rosululloh Syeh Abdul Qodir trlah berkata ‘Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah ‘ Beliau menjawab ‘Yang diucapkan oleh beliau adalah benar. Bagaimana mungkin tidak benar apabila dia adalah Qutb (para wali) dan aku (Rosululloh SAW yang mengawasinya. Di hari Jum’at 3 Ramadan 599 H. seorang pria datang menghadap Syeh Hayyan bin Qis Al-Harani di masjid Al Hiran memohon Khirqah (jubah kesifian tanda bai’at) kepada beliau. “Dalam dirimu talah terdapat tanda selain aku’ kata beliau kepadanya. orang itu berkata, ‘benar aku pernah bertemu Syeh Abdul Qodir namun tidak ber bai’at kepada beliau”. Syeh Hayyan berkata “selama beberapa waktu kita telah hidup di bawah bayangan kehidupan Syeh Abdul Qodir Al Jailani .telah kita meminum gelas-gelas kebahagiaan dari mata air pengetahuan beliau. dan Dari Beliau diperoleh rahasia para Wali menurut tingkatan mereka.
Suatu saat Syeh Lulu Al Armani ketika bertemu dengan Syeh Atha’ Al-Masri , beliau meminta untuk menyebutkan para gurunya. Syeh Lulu berkata ,”Atha’ guruku adalah Syeh Abdul Qodir Al Jailani yang menyatakan “kedua telapak kakimku ini ada di punggung setiap Wali Allah .Dan pada saat beliau selesai mengucapkan hal tersebut tercatat 313 Wali Allah dari segala penjuru dunia menundukkan kepala meeka , 17 orang berada di Haramain , 60 orang di Iraq, 40 orang di negeri non Arab, 40 orang di Syam, 20 orang di mesir, 27 orang di Maroko, 11 orang di Habsyah, 7 orang di tembok penahan Ya’juj dan Ma’juj, 7 orang di Wadi Sarandib, 47 orang di gunung Qof, 20 orang di daerah teluk. Dan banyak yang besaksi bahwa pernyataan tersebut diucapkan berdasarkan perintah Allah. Kemudian beliau melanjutkan.”Aku sendiri melihat para Wali di timur maupun di barat merundukkan kepala mereka kepada Syeh Abdul Qodir kecuali seorang Wali di daerah luar Arab yang kemudian hilang tanpa bekas. Diantara mereka yang merundukkan kepalanya kepada beliau adalah Syeh Baqa’ bin Bathu’ , Syeh Abu Sa’id Al-Qaylawy , Syeh Ahmad Arrifa’y yang dalam sebuah riwayat memanjangkan lehernya dan melihat punggungnya seraya berkata,’Memang ada di punggungku’. Saat di tanya mengenai perkataannya itu, beliau berkata,’saat ini di Baghdad , Syeh Abdul Qodir sedang berkata ,’ Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah‘.
Termasuk diantara mereka yang menundukkan kepala kepada beliau adalah Abdurrahman Athafsunaji, Abu Najib Assahrawardi, yang mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar hal tersebut seraya berkata’di atas kepalaku. Musa Al Jazuli, Musa Al Harani, Abu MUhammad bin ‘Abd, Abu Umar, Ustman bin Marzuq , Abu Al-Karam , Majid Al Kurdi , Suwaid Annajari, Ruslan Addimasqi, yangmenundukkan kepalanya di Damaskus seraya berkata kepada para muridnya ‘Allah memiliki mutiara yaitu orang yang minum dari lautanAl Quds dan duduk di permadani ma’rifah serta menyaksikan keMaha Agungan Rububiyah / ketuhanan dan ke Maha Besaran Wahdaniyah (ketunggalan). Sifat (kemanusiaannya) lenyap saat menyaksikan keMaha Besaran Nya Eksistensinya lebur saat menyaksikan ke-WibawaanNya Maka dipakaikannya kepadanya jubah keacuhan (terhadap dunia) dan ditempatkan di puncak tangga Al-Inayah hingga beliau mencapai maqom yang telah ditentukan dan didudukkan di puncak ruh Azaly .
Dia berbicara dengan hikmah dari lembaran-lembaran cahaya, bercampur dengan kepekatan rahasiaNya. Hilang kesadarannya ketika berada di Hadirat Allah dan tidak pernah terputus denagn Allah ketika Ia kembali sadar. Berdiri dengan penuh rasa malu, berbicara dengan tawadhu’ mendekatkan diri dengan penuh kerendahan, berbicara dengan kemuliaan , baginya ucapan selamat dan salam terbaik adalah berasal dari Tuhannya. ‘Apakah di dunia ini ada orang yang memiliki ciri seperti itu ?’ tanya seseorang kepada beliau’Ada, dan Syeh Abdul Qodir pemimpin mereka’jawab beliau. Di Maroko (Maghrib) Syaikh Abu Madin (setelah mendengarkan pernyataan Syaikh Abdul Qadir ) memanjangkan lehernya dan berkata, ‘benar dan aku salah seorang dari mereka. Yaa Allah aku bersaksi kepadaMu dan kepada para MalaikatMu bahwa aku mendengar dan patuh’. Kemudian termasuk diantara mereka adalah Syaikh Abu Na’im AL-Maghribi, Syaikh Abu Umar dan Utsman bin Marwazih Al-Bathiahi, Syaikh Makarim, Syaikh Khalifah, Syaikh Uday bin Musafir. Pada saat beliau mengucapkannya banyak orang yang melihat rombongan orang yang terbang di udara untuk menghadap beliau berdasarkan perintah Khidir as. Dan setelah mengucapkan selamat, seorang wali berkata kepada beliau, ‘eahai raja zaman, pengusas tempat, pelaksana perintah Sang Maha Pengasih, pewaris kitab Allah dan wakil RasuluLlah SAW, yang dianugerahi langit dan bumi, yang menjadikan seluruh orang pada masanya sebagai keluarganya, yang doanya dapat menurunkan hujan, dan berkahnya menghilangkan mendung, yang menjadikan kepala orang yang menghadapnya tertunduk, yang makhluk gaib hadir di hadapannya sebanyak 40 shaf, dengan 70 orang Gaib pada setiap shaf, yang ditelapak tangannya tertulis bahwa dia tidak akan mendapat makar dari Allah, dan di umurnya yang ke dua puluh para malaikat berputar di sekelilingnya serta menyampaikan kabar gembira kewalian beliau’.
Pada suatu masa, air sungai dajlah meluap dan membanjiri Baghdad.Orang-orangpun mendatangi beliau memohon pertolongannya. Sambil membawa tongkatnya beliau berjalan menuju tepian sungai dan menancapkannya di batas air seraya berkata, “cukup sampai di sini” dan saat itu pula air sungai tersebut menyurut. Syaikh Abdullah Dzayyal berkata, “suatu saat ketika berada di madrasah beliau di tahun 560 H aku melihat beliau memegang tongkat. Saat itu aku berharap aku dapat melihat karamah yang keluar dari tongkat tersebut. Beliau kemudian memandang ke arahku sambil tersenyum lalu menancpakan tongkatnya ke tanah, seketika itu pula cahayanya menyembur dari tanah, menembus awan dan menjadikan langit terang benderang beberapa saat. Beliau kemudian mencabutnya kembali dan keadaan pun kembali seperti semula. Beliau berkata kepadaku, ‘Dayyal, bukankah ini yang engkau kehendaki’”. Syaikh Abu Taqy Muhammad bin Al-Azhar Ash-Shariifni berkata, “selama setahun penuh aku memohon kepada Allah untuk dapat melihat salah seorang dari rijal Al-Ghaib. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengan seorang pria saat sedang menziarahi makam Imam Ahmad bin Hambal. Terbetik dalam hatiku bahwa beliau adalah salah seoraang rijal Al-Ghaib. Akupun terbangun dan sengan harapan dapat bertemu dengannya akupun pergi ke makam Imam Ahmad bin Hambal . akupun bertemu dengan orang yang ada di dalam mimpiku di sana. Saat beliau keluar aku mengikutinya hingga sampai ke tepi sungai Dajjlah. Di tepian tersebut beliau menarik tepian sungai tersebut hingga keduanya hanya berjarak satu langkah dan menyeberanginga. Aku memohon kepadanya untuk berhenti dan berbicara kepadaku. Aku bertanya, “apa mazhabmu ?”. “Aku bermazhab Hanafi, seorang muslim dan bukan musyrik”. Jawab beliau. Kemudian hatiku seakan – akan berkata, ‘pergi ke Syaikh Abdul Qadir dan ceritakan apa yang engkau alami’. Akupun mengunjungi sang Syaikh. Setibanya aku di pintu madrasah, beliau berkata dari dalam rumah tanpa membuka pintunya, ‘yaa Muhammad, saat ini hanya dialah seorang wali yang bermazhab Hanafi di muka bumi ini’.
Suatu saat beliau naik ke atas kursi tempat beliau mengajar, tidak berbicara dan tidak menyuruh pembaca kitab untuk membacakannya. Dan orang-orang yang hadir memasuki kondisi ektase dan perkara yang agung memasuki mereka. Salah seorang yang hadir bertanya dalam hati, “apa ini ?”. beliau berkata, “seorang muridku datang dengan satu langkah dari baitul Muqaddas kemari untk bertaubat dan semua yang hadir pada saat ini dianggap sebagai tuan rumahnya. “dalam hatinya orang tersebut berkata, “jadi siapa yang mengalami kondisi seperti ini adalah mereka yang bertaubat ?”. pernyataan tersebut dijawab sang Syaikh, jangan engkau berharap kepadanya. Dia datang kepadaku dan memintaku untuk mengajarinya jalan untuk mencinta”. Pernah suatu saat Syaikh Abdul Qadir berjalan di atas udara di depan banyak orang dan berkata, “Matahari selalu menyampaikan salam kepadakusetiap ia ingin terbit. Demikian pula halnya dengan hari, bulan dan tahun. Mereka –juga- menginformasikan kepadaku tentang apa tentang apa yang terjadi.
Di beberkan kepadaku Lauh Al-MahfudzI tentang siapa yang mendapatkan kesenangan dan siapa yang mendapatkan kesusahan. Aku tenggelam dalam lautan Ilmu dan Musyahadah –Nya. Aku adalah sandaran kalian dan wakil RasuluLlah SAW di muka bumi”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setiap wali berada di bawah telapak kaki para Nabi dan aku berada di bawah telapak kaki kakekku RasuluLlah SAW. Semua tempat yang aku injak maka bekasnya akan emnjadi telapak kaki Nabi.” Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku adalah Syaikh bagi para manusia dan jin.” Di lain kesempatan beliau berkata, “jika kalian bertanya kepada Allah, tanyakan aku kepadaNya. Wahai penduduk bumi, dari timur hingga barat, kemarilah dan belajar dariku. Wahai penduduk Iraq, Ahwal –kondisi spiriutal- yang kumiliki seperti baju yang tergantung di rumah. Baju manasaja yang engkau pilih akan aku pakaikan kepadamu. Hendaknya kalian menyampaikan salam atau akan aku bawakan pasukan tiada tanding. Hai saudara, berkelanalah 1000 tahun agar engkau dapat mendengarkan perkataanku. Saudara, kewalian dan beberapa derajad spiritual ada di sini, di majlisku.
Semua Nabi yang diciptakan Allah dan semua wali menghadiri majlisku baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Yang masih hidup dengan fisik mereka sedangkan yang sudah meninggal dunia dengan rohnya. Saudara sekalian tanyakan diriku kepada Munkar dan Nakir ketika mendatangi kalian (di kubur) maka mereka akan menceritakan diriku kepada kalian.” Abu Ridho, pelayannya meriwayatkan, dalam suatu kesempatan Syaikh Abdul Qadir berbicara tentang roh. Di tengah penjelasan, beliau diam, duduk dan kemudian bangkit kembali seraya bersenandung, Rohku telah diciptakan dengan hikmah dalam ke-qadiman, sebelum ia mewujud, ketika ia dalam ketiadaan sekarang, bukankah suatu kebaikan setelah aku mengenal kalian lalu aku pindahkan kakiku dari jalan hawa kalian. Di lain riwayat, Abu Ridho bercerita, “suatu hari ebliau menjelaskan tentang cinta. Tiba-tiba beliau bangkit dan diam. Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak akan berbicara kecuali dengan 100 dinar.’ Orang-oranagpun menyerahkan kepada beliau apa yang beliau minta. Kemudian beliau memanggilku dan berkata, ‘pergilah engkau ke pekuburan Syunuziyah dan cari seorang syaikh yang sedang bermain-main dengan kayu lalu berikan emas ini kepadanya dan bawa ia kepadaku’. Kemudin akupun pergi dan menemukan syaikh yang beliau maksud sedang berdiri dan memain-mainkan tongkat kayu.
Akupun mengucapkan salam dan menyerahkan emas tersebut kepadanya. Dia berteriak dan jatuh pingsan. Saat beliau sadar aku bertanya kepadanya, ‘Syaikh, Syaikh Abdul Qadir ingin bertemu denganmu’. Beliau kemudian bangkit dan menemui Syaikh Abdul Qadir. Setibanya di sana Syaikh Abdul Qadir memberikan perintah untuk menaikkannnya di kursi tempat beliau mengajar dan meminta orang tersebut untuk menceritakan kisahnya. Dia berkata, ‘Tuanku, sewaktu aku masih muda aku adalah seorang penyanyi bagus yang dikenal banyak orang. Tetapi setelah aku tua, tidak ada seorangpun yang memperhatikan aku. Aku pergi dari Baghdad dan berkata dalam hati, “aku tidak akan menyanyi kecuali untuk yang mati”. Saat aku mengelilingi kuburan ini, aku duduk di salah satu kuburan yang ternyata telah terbelah dan nampak kepala mayat yang ada di dalamnya. Mayat tersebut berkata kepadaku, “Mengapa engkau menyanyi untuk orang-orang mati, bernyanyilah untuk Yang Maha Hidup sekali maka Dia aakn memberikan kepadamu apa yang engkau inginkan”. Akupun jatuh pingsan, dan setelah tersadar aku berkata Tuhanku, aku persiapkan apa yang aku miliki untuk hari pertemuan dengan-Mu, kecuali pengharapan hati dan ucapan mulutku. Memang, sudah asalnya para pengharap mengharapkan harapan dan mereka akan bersedih apabila engkau menolaknya Jika hanya golongan Muhsin yang boleh berharap kepadaMu, lalu kepada siapa si pendosa berlindung dan melarikan diri.
Ubanku membuatku jelek di hari penghabisan dan perjumpaan denganMu, semoga engkau menyelamatkan aku dari apiku. Saat aku berdiri, pelayan anda datang membawakan emas ini”. Sambil mematahkan tongkat kayu yang ada di tangannya dia berkata, sekarang aku bertobat kepada Allah’. Usai mendengarkan kisah tersebut, Syaikh Abdul Qadir berkata, “Yaa fuqara’ , jika kejujuran (orang ini) terhadap sesuatu yang sia-sia saja menyebabkannya memperoleh apa yang ia inginkan, apalagi dengan para sufi yang bersungguh-sungguh dalam kesufian, ahwal dan thariqahnya”. Kemudian beliau melanjutkan, “hendaklah kalian berlaku jujur, dan bersih hati. Tanpa keduanya, tidak mungkin seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah, “Jika berbicara hendaklah kalian berkata jujur””. Saat beliau meminta 100 dinar, ada 40 orang mengantar jumlah yang sama kepada beliau. Beliau hanya mengambil dari satu oraang, dan setelah orang ini bertaubat, sisa dari uang pemberian tersebut beliau bagikan kepada orang-orang. Peristiwa hari itu menyebabkan 5 orang meninggal dunia. Al-Kaimani, Al-Bazaar, dan Abu Hasan Al-Ali yang dikenal dengan As-Saqazar bercerita bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban tahun 529 H. Syaikh Abdul Qadir bersama rombongan mengunjungi pekuburan Syunizi. Beliau berhenti di pekuburan Syaikh HammadAd-Dabbas agak lama kemudian menlanjutkan perjalanannya dengan muka berseri-seri. Pada saat ditanya sebab lamanya beliau berhenti dan berseri-serinya muka Beliau, sang Syaikh menjawab, “Pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 499 H aku bersama murid Syaikh Hammad mengikuti beliau keluar Baghdad.
Setibanya di jembatan Yahud, beliau mendorongku sampai aku tercebur ke sungai-pada saat itu udara sangat dingin-kemudian mereka berlalu dan meninggalkanku. Aku berkata dalam hati, “Aku berniat mandi Jum’at”. Saat itu aku mengenakan jubah sufi dan di lenganku terdapat sebuah jubah lagi yang membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku kemudian keluar dari air dan memeras jubah tersebut dan menyusul mereka dalam kondisi kedinginan hingga menusuk ke tulang. Melihat kondisiku, para murid bermaksud hendak menolongku namun beliau melarangnya seraya berkata, “Apa yang aku lakukan adalah untuk mengujinya, dan aku mendapatinya bagai gunung, kokoh tak bergerak”. “Hari ini aku melihat beliau dalam kubur memakai jubah dari cahaya bertabur permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota dari Yakut . di tangan kirinya terdapat gelang dari emas dan beliau memakai dua sandal dari emas. Tapi tangan kanannya hilang. ‘Ada apa dengan lengan ini ?’ tanya ku kepada beliau. Beliau menjawab, ‘inilah tangan yang aku pergunakan untuk mendorongmu’. Kemudian beliau berkata, ‘maukah engkau memaafkan perbuatanku itu ?’ ‘Ya’ jawabku. ‘jika demikian’ kata beliau, ‘mohonkan kepada Allah agar Dia mengembalikan lenganku seperti sedia kala’. Akupun memohonkan kepada Allah untuk itu dan pada saat itu 5000 wali turut memohon kepada Allah, mendukungku dari kubur mereka. Aku terus memohon kepada Allah hingga akhirnya Allah mengembalikann lengan kanannya dan beliau menjabat tanganku dengan tangan kanan tersebut.
Dengan demikian sempurnalah kebahagiaannya dan kebahagiaanku.” Ketika kabar tersebut tersebar di Baghdad para murid Syaikh Hammad beramai-ramai mendatangi sang Syaikh untuk meminta klarifikasi atas pernyataan tersebut. Setibanya di madrasah beliau, sebagai rasa hormat mereka kepada beliau, tidak ada seorangpun yang memulai pembicaraan. Beliaupun kemudian memulai pembicaraan dengan menerangkan maksud kedatangan mereka saat itu. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalian pilih dua orang. Insya Allah melalui mereka berdua akan jelas apa yang aku ucapkan”. Mereka kemudin memilih Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Yang pada saat itu ada di Baghdad, dan Syaikh Abdurrahman AL-Kurdi yang memang tinggal di Baghdad. Mereka berdua termasuk orang-orang yang dianugerahi kasyf .’Kami serahkan urusan ini kepada kalian’ kata mereka kepada kedua Syaikh tersebut. ‘Bahkan kalian jangan beranjak dari tempat kalian berada sampai terbukti apa yang aku ucapkan’ kata beliau kepada mereka. Kemudian beliau menghentakkan kakinya ke tanah dan pada saat itu para sufi di luar telah berteriak memberitahu bahwa Syaikh Yusuf Al Hamdani RA telah datang dengan berjalan bertelanjang kaki sampai beliah masuk ke madrasah sang Syaikh. Di sana beliau berkata, ‘Aku bersaksi bahwa Syaikh Hammad Ad-Dabbas berkata kepadaku, “Cepatlah datangi majlis Syaikh Abdul Qadir dan katakan pada para Syaikh yang hadir bahwa apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir adalah benar adanya’. Beliau sempat menamatkan perkataannya, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman Al-Kurdi datang dan beliau menyatakan pernyataan seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Setelah mendengarken pernyataan tersebut, mereka bangkit dan memohon maaf kepada Syaikh Abdul Qadir”. Seseorang berkata kepada beliau, “Kami berpuasa seperti yang Anda lakukan, dan melaksanakan shalat sepertiyang Anda lakukan.
Tapi tidak ada satupun kondisi spiritualmu yang dapat kami lihat”. Beliau berkata, “kalian dapat bersaing denganku dalam hal melaksanakan amal, akan tetapi kalian tidak dapat bersaing denganku dalam hal anugerah yang diberikan kepadaku. Demi Allah, aku tidak akan makan sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, makan’. Aku juga tidak minum sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, minum’. Dan aku tidak akan melakukan sesuatu kecuali berdasarkan perintah Allah”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada suatu ketika di masa mujahadahku (perjuangan) aku tertidur. Dalam tidur tersebut aku mendengar suara yang berkata kepadaku, ‘Ya Abdul Qadir, Kami tidak menciptakanmu untuk tidur. Kami telah hidupkan engkau maka jangan lupakan Kami’”. Syaikh Abu Naja Al-Baghdadi, pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa pernah suatu ketika hutang sang Syaikh kepada beberapa orang telah mencapai 250 dinar, lalu datanglah oraaang yang tidak aku kenal dan masuk tanpa ijin lalu duduk dihadapan sang Syaikh. Dia mengeluarkan uang seraya berkata, “ini adalah pembayar hutang” kemudian ia pergi. Kemudian beliau memerintahkan agar uang tersebut dibagikan kepada yang berhak. Kemudian –kata Syaikh Abu Naja- ketika aku menanyakan siapa orang tersebut, sang Syaikh berkata, “Dia adalah yang berjalan menurut Al-Qadar”. “Siapa yang berjalan menurut Al-Qadar” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Dia adalah malaikat yang diutus Allah kepada para waliNya yang memiliki hutang untuk melunasi hutang-hutang mereka”. Syaikh Uday bin Abu Barakat meriwayatkan bahwa ayahnya meriwayatkan dari pamannya Syaikh Uday bin Musafir. Beliau berkata, “suatu ketika saat Syaikh Abdul Qadir memberikan pengajaran, turunlah hujan yang membuat orang-orang berpencar. Sang Syaikh menengadahkan kepalanya kep arah langit dan berkata, ‘Aku mengumpulkan mereka untukMu dan Engkau cerai beraikan mereka seperti ini’. Seketika itu pula hujan berhenti, tidak ada satu tetespun air yang turun di majlis tersebut sedangkan di luar madrasah hujan tetap lebat”. Syaikh AbdulLah Al-Jaba’I meriwayatkan, “ Pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir sedang berbicara tentang bagaimana menghilangkan ujub.
Tiba-tiba Beliau memalingkan Muka Beliau kepadaku dan berkata, ‘Apabila engkau melihat sesuatu yang berasal dari Allah dan hal tersebut menggiringmu untuk melakukan kebaikan serta engkau dapat melepaskan dirimu dari (meminta) penjelasan akan hal tersebut maka engkau telah lepas dari sifat ujub’”. Syaikh orang-orang sufi, Syaikh Syihabuddin Umar As-Sahrawardi berkata, “Dulu saat aku masih muda, aku menenggelamkan diriku untuk mempelajari ilmu kalam. Aku hafal berbagai karangan dalam bidang tersebut dan segera menjadi seorang pakarnya. Pamanku telah memperingatkanku akan hal tersebut namun aku tidak mempedullikannya, sampai suatu hari aku dan dia menziarahi Syaikh Abdul Qadir. Beliau berkata kepadaku, ‘’Umar, Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin), sebelum pembicaraan itu’. Kami adalah orang-orang yang kalbunya selalu mendapatkan bisikan dari Allah. Sekarang lihatlah posismu di hadapan Allah agar engkau dapat melihat keberkahan melihat-Nya”. “ketika kami sudah duduk bersamanya, pamanku berkata kepada beliau, ‘Kmenakanku ini menyibukkan dirinya dengan ilmu kalam. Aku sudah larang dia akan tetapi dia tidak mematuhiku’. Mendengar penuturan pamanku, beliau mengulurkan tangannya yang penuh berkah ke dadaku dan berkata, ‘Kitab apa saja yang telah engkau hafal ?’. Akupun menjawab dengan menyebutkan berbagai kitab yang telah aku hafal. Demi Allah, saat beliau mengangkat tangannya dari dadaku, tidak ada satu katapun dari kitab-kitab, yang sebelumnya aku hafal di luar kepala, yang masih aku ingat. Saat itu juga Alah Ta’ala telah melupakan aku tentang berbagai masalahnya dan menanamkan dalam dadaku ilmu laduni. Aku bangkit dari hadapannya sambil berbicara dalam bahasa hikmah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Umar, engkau adalah orang-orang terakhir yang termasuk golongan orang-orang masyhur di Iraq”. Syaikh Abdul Qadir adalah Sulthan ahl-Thariqah yang dianugerahi otoritas atas semua eksistensi. Abu Faraj bin Hamami bercerita, “Aku banyak mendengar cerita-cerita mustahil yang muncul dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani ra. Yang tidak dapat aku terima. Akan tetapi karena itulah aku ingin sekali bertemu dengan beliau. Suatu saat, aku pergi ke Bab Al-Azij untuk suatu keperluan. Ketika pulang aku melewati madrasahnya dan tepat pada saat itu muazin telah mengumandangkan shlalat ashar.
Dalam hati aku berkata, ‘aku akan shalat ashar dan berkenalan dengan sang Syaikh’. Saat itu aku lupa bahwa aku belum berwudhu dan langsung shalat. Setelah selesai shalat, Syaikh Abdul Qadir menjumpaiku dan berkata kepadaku, ‘Anakku, jika engkau datang kepadaku dengan suatu hajat pasti akan aku kabulkan. Sayangnya sekarang engkau benar-benar lupa bahwa engkau belum berwudhu ketika melakukan shalat’. Pengetahuan beliau terhadap sesuatu yang tersembunyi menimbulkan kekaguman kepadaku akan kkondisi spiritual yang telah beliau capai. Sejak saat itu aku selalu mengikutinya, mencintainya dan emlayaninya. Dari keajdian tersebut aku mengetahui keluasan berkah beliau”. Al-Jaba’I berkata, “ketika mendengar kitab Haliyatul Auliya’ oleh ibnu Nashir, terbetik dalam hatiku untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari manusia dan menyibukkan diri beribadah. Saat shalat Ashar, aku berjama’ah bersama Syaikh Abdul Qadir. Selesai shalat beliau melihat ke arahku dan berkata, ‘jika engkau benar-benar ingin berkontemplasi (khalwat), maka jangan lakukan itu sebelum engkau benar-benar menguasai agama, bergaul dengan para Syaikh dan belajar dari mereka. Saat itulah engkau boleh berkontemplasi (khalwat). Jika engkau tidak melakukan itu maka engkau akan terputus sebelum engkau menjadi ahli dalam bidang agama. Engkau juga akan merasa bangga atas apa yang engkau miliki. Tapi ketika ada masalah agama yang engkau tidak ketahui, engkau akan keluar dari zawiyahmu dan bertanya kepada orang-orang tentang hal tersebut. Sebaik-baik kontemplator (orang yang berkhalwat) adalah mereka yang bagaikan lilin, amemberikan penerangn dengan cahayanya”. Syaikh Abu Abbas Al-Khidr Al-Husain Al-Maushuli meriwayatkan, “pada suatu malam, saat kami sedang berada di madrasah Syaikh Abdul Qadir, datanglah khalifah AL-Mustanjid biLlah Abu Mudzaffar Yusuf bin Al-Imam Al-Muftaqi li amriLlah Abu AbduLlah Muhammad Ad-Dabbas. Beliau mengucapkan salam kepada sang Syaikh dan memohon nasihatnya sambil meletakkan 10 kantung uang yang dipikul oleh 10 orang budak. Syaikh berkata, “Aku tidak membutuhkan ahrta ini”. Namun sang Imam berkeraas agar Syaikh Abdul Qadir menerimanya. Syaikh Abdul Qadir kemudian mengambil 2 kantung uang yang paling besar dan paling berat lalu memeras keduanya dengan tangan beliau, maka mengalirlah darah.
Berkatalah Syaikh kepada Khalifah, ‘Mudzafar, engkau peras darah rakyat lalu engkau berikan kepadaku. Tidakkah engkau malu kepada Allah ?’. sang khalifahpun pigsan mendengar hal tersebut. Kemudian sang Syaikh emlanjutkan, ‘Kalau buan karena rasa hormatku kepada garis keturunannya dengan RasuluLlah SAW, akan aku biarkan darah tersebut mengalir hingga pintu istananya’. Syaikh Abu Hasan Ali Al-Quraisy berkata, “saat aku menghadiri salah satu majlis sang Syaikh tahun 559 H datanglah rombongan golongnan rafidah membawa dua buah keranjang tertutup dan berkata kepada beliau, ‘Beritahu kami apa isi dua keranjang ini’. Beliau turun dari kursi dan mengulurkan tangannya memegang salah satu keranjang tersebut dan berkata, ‘Yang ini berisi anak yang lumpuh’. Lalu beliaiu memerintahkan puteranya Abdurrazaq membuka keranjang tersebut dan isinya seperti yang beliau ucapkan. Beliau pegang kaki anak tersebut kemudian berkata, ‘Bankitlah dengan ijin Allah’. Seketika anak tersebut bangkit. Kemudian beliau memegang keranjang yang lain dan berkata, “keranjang ini berisi anak yang sehat dan tidak cacat’. Ketiak keranjang tersebut dibuka, maka keluarlah seorang anak yang sehat, sang Syaikh memegang ubun-ubunnya dan berkata, ‘Duduklah’. Seketika itu pula anak tersebut menjadi lumpuh. Rombongan rafidah tersebut bertobat di hadapan beliau dan pada saat itu 3 orang meninggal dunia’. Diriwayatkan, dari Yahya bin Junah Al-Adib bahwasanya beliau berkata, “Dalam hati aku berkata”. ‘Aku ingin menghitung berapa banyak sang Syaikh melantunkan sya’ir di dalam majlisnya dengan menggunakan benang dari pakaianku. Akupun kemudian menghadiri majlis pengajiannya dan setiap beliau melantunkan sya’ir maka aku ikatkan benang di bawah pakaianku.
Ditengah-tengah beliau bersya’ir tiba tiba beliau berkata, ‘Aku melepaskan ikatan sedang engkau mengikatnya’”. Syaikh Abu Hasan (Ibnu Syathantah) Al-Baghdadi berkata, “Saat aku belajar kepada sang Syaikh, aku sering berjaag di malam hari untuk melayani beliau. Pada suatu malam di bulan Shafar tahun 553 H, aku melihat beliau keluar dari ruangannya. Akupun menyodorkan tempat air untuk berwudhu kepada beliau namun beliau tidak mempedulikan tawaranku dan terus bergerak menuju pintu madrasah. Kemdian beliau memberi isyarat kepada pintu madrasah tersebut maka pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kemudian beliau terus berjalan keluar sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku berkata dalam hatiku bahwa beliau tidak mengetahui kalau aku ikuti dari belakang. Beliau terus berjalan ke arah pintu gerbang kota Bagdad, maka beliaupun memberikan isyarat kepada pintu tersebut dan pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kami terus berjalan, namun tak berapa lama tibalah kami di suatu tempat semacam ribath yang sama sekali tidak aku ketahui. Di dalam ribath tersebut terdapat 6 orang yang sedang duduk, dan ketika mereka mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir maka merekapun segera menyambut beliau seraya mengucapkan salam. Aku segera pergi ke sudut bangunan tersebut dan dari dalam bangunan terdengarlah suara dengungan dan rintihan. Tak berapa lama, suara tersebut berhenti , kemudian seorang pria masuk ke dalam ruangan yang tadi terdengar rintihan lalu keluar dengan membawa seseorang di atas pundaknya.
Setelah itu seseorang yang tidak mengenakan sesuatu di kepalanya dengahn kumis yang lebat masuk dan duduk di hadapan sang Syaikh dan kemudian mengambil dua kalimah syahadah dari beliau kemudian memotong kumis serta rambutnya. Setelah itu beliau kenakan thaqiyah (topi) di kepalanya dan memberikan nama Muhammad kepadanya serta berkat kepada yang lain, ‘Aku telah diperintahkan untuk menjadikannya sebagai ganti dari yang meninggal’. ‘Kami mendengar dan patuh’ jawab yang lain. Baliau lalu keluar dari ruangan tersebut seraya meninggalkan mereka. Setelah itu beliau berjalan dan tak lama kami tiba di pintu gerbang kota Baghdad. Pintu tersebut kembali terbuka dan menutup dengan sendirinya setelah kami melewatinya. Demikian juga tak berapa lama kami tiba di Madrasah kemudian memasukinya. Keesokan harinya aku mohon kepada sang Syaikh untuk menceritakan apa yang aku lihat. Maka beliaupun menjawab, “Adapun negeri yang kita datang kemarin adalah negeri Nahawand. Enam oran yang engkau lihat adalah para wali abdal dan suara dengungan yang engkau dengar adalah wali yang ke tujuh. Dia sedang sakit dan aku hadir di sana untuk melayatinya. Adapun orang yang aku ambil syahadatnya adalah seorang nashrani dari Konstantinopel dan aku perintahkan ia untuk menjadi ganti ari si mayit. Adapun orang yang masuk dan keluar sambil menggendong jenasah adalah Abul Abbas Al-Khidhir AS yang diperintah Allah untuk mengurus jenasah wali yang wafat”. Kemudian beliau mengambil sumpahku untuk tidak menceritakan peristiwa tersebut selama beliau masih hidup. Beliau berkata, “Takutlah kamu untuk tidak membuka rahasia ini selama aku masih hidup”. Abu Sa’id AbdulLah bin Ahmad bin Ali Al-Baghdadi Al-Azji bercerita, “Pada tahun 537 H anak perempuanku seorang perawan berusia 16 tahun naik ke atas atap rumahku dan kemudian hilang.
Akupun pergi menghadap Syaikh Abdul Qadir dan menceritakan hal tersebut. Beliau berkata kepadaku, “Pergilah ke pegunungan Al-Karh. Duduklah di puncak ke lima dan buatlah tanda lingkaran di sekitarmu sambil berkata, ‘BismiLlaahiRrahmaanirRahiim, atas niat Syaikh Abdul Qadir. Nanti ketika hari mulai gelap akan banyak jin yang melewatimu. Mereka tidak akan dapat menyakitimu. Pada waktu sahur, raja raja mereka akan lewat beserta bala tentaranya dan mereka akan menanyakan maksud kedatanganmu. Saat itulah ceritakan kepada mereka perihal anakmu’. Akupun melaksanakan perintah tersebut. Ketika hari muali gelap, geromblan jin dengan bentuk yang sangat menakutkan namun mereka tidak dapat menyakitiku atau menggangguku. Gerombolan demi gerombolan terus berlalu hingga waktu sahur datanglah raja mereka dengan mengendarai seekor kuda dan berdiri di luar lingkaran menghadap ke arahku. Dia berkata, ‘hai manusia apa keperluanmu’. “Syaikh Abdul Qadir mengutusku kepadamu”. Jawabku. Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir maka raja jin tersebut turun dari kudanya mencium tanah dan duduk, begitu pula dengan para jin lain yang menyertainya.
Kemudian ia berkata, ‘apa yang terjadi pada dirimu ?’. akupun menceritakan kepada mereka aka kisah puteriku yang hilang. Setelah mendengar penuturanku, dia berkata kepada para jin, ‘Siapa yang melakukan ini’. Tidak ada satu jinpun yang mengakuinya. Lalu datanglah seorang jin bersama anakku. Sang raja berkata, ‘ini adalah pembangkang dari negeri cina’. ‘apa yang mendorongmu berani melakukan hal ini di bawah atap sang qutb ?’. tanyanya kepada jin tersebut. Jin tersebut berkata, ‘perempuan tersebut menarik hatiku dan aku mencintainya’. Sang raja kemudian memerintahkan jin tersebut untuk dipenggal kepalanya dan menyerahkan anakku kembali. Aku berkata kepadanya, ‘Aku belumpernah melihat jin dengan derajad tinggi sepertimu memenuhi perintah Syaikh Abdul Qadir’. Dia berkata, ‘Benar, dari rumahnya beliau memandang kepada jin pembangkang yang pada waktu itu berada di dasar bumi.kewibawaannya membuat para pembangkang tersebut kembali ke tempat mereka. Sesungguhnya jika Allah mengangkat seorang Qutb maka Dia akan menjadikannya sebagai Qutb diantara jin dan manusia’
Adapun silsilah beliau adalah :
- Syech Abdul Qodir Jailani adalah seorang putra dari Abi Sholeh Janaki
- Abi Sholeh Janaki putra dari Abdullah
- Abdullah putra dari Yahya AdJahidi
- Yahya AdJahidi putra dari Muhammad
- Muhammad putra dari Daud Assani
- Daud Putra dari Musa Assani
- Musa Assani putra dari Abdullah Assani
- Abdullah Assani putra dari Musa Aljuuni
- Musa Aljuuni putra dari Abdullah Al'Mahdi
- Abdullah Al'Mahdi putra dari Hasan Almusanna
- hasan almusanna putra dari Syaidina Husain (Cucunda Rosullullah Muhammad SAW)
- Syaidina Husain Putra dari Syaidina Ali Bin Abi tholib dan Siti Fatimah binti Rosulullah
PERJALANAN SYECH ABDUL QODIR AL-JAILANI
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang desebut 'pengalaman-pengalaman mistik'. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-Azam atau wali ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama' besar di masa kini, telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur'an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusata dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: "Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku." Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.
Beliau berusia 8 tahun ketika meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
[sunting] Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Ada suatu peristiwa yang terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: "Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku."
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: "Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu." "Enyahlah!, bentak sang wali." Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu".
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: "Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram." Sang Syaikh berucap: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk." Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: "Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku."
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak - dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
1. Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
2. Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
3. Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
4. Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur'an, Hadits, Ushul Fiqih,Tasawuf dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya', sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah - suatu amalan yang dianjurkan Qur'an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya
AJARAN BELIAU
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.
KAROMAHNYA
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang Wali qutub yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud dan ahli hakikat. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
PENDAPAT ULAMA SUFI TENTANG BELIAU
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab
Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya beliau, antara lain :
1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
2. Futuhul Ghaib.
Ketika ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."
Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."
Ibnu Rajab juga berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "
Imam Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."
Syaikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.
KESIMPULAN
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
KEDUDUKAN WALI QUTUB SYECH ABDUL QODIR JAILANI DIANTARA PARA WALI
Kedua Telapak Kakiku ada di punggung setiap Wali Allah Bismilahirrohmaanirrohiim Alhamdu Lilaahi Robbil”aalamiin Asholaatu Wasalaamu ‘ala Sayyidil Mursaliin, Sayidinaa wa Maulanaa Muhammadin wa ‘alaa AaliHi wa ShohbiHi wa ‘alainaa ma’ahum AmiinB Al-Hafid Abu Izza Abdul Mughist bin Harb Al-Baghdadi dan yang lainnya berkata ” Kita biasa hadir di majelis Syeh Abdul Qodir di ribathnya di Baghdad. Umumnya yang menghadiri majelis beliau adalah para Syaikh Iraq diantaranya ; Syaikh Alibin Hiti, Baqa bin Bathu’, Abu Sa’id Al-Qailawi, Musa bin Mahin , Abu NajibAssahrawardi, Abu karam, Abu Umar, Utsman Al Qursyi, Makarim al-Akbar, Mathar, Jaakir, Khalifah, Shidqah, Yahya Murtasyi, Ad-diya Ibrahim al-Juwaini, Abu Abdulah Muhammad al-Qazwaini, dan masih banyak lagi selanjutnya klik di siniAbu Ustman, Umar Ak-Batiahi, Qadib Al- Baan, Abul Abas Ahmad Al-Yamani, Abu Abas Ahmad Al-Qazwaini beserta muridnya Daud yang selalu melaksanakan Shalat fardhu di Makkah, Abu Abdulah Muhammad Al-Khas, Abu Umar, Ustman Al-Iraqi As-Syauki, yang konon merupakan salah seorang Rijal Ghaib ….dan lain sebagainya.
Dalam kondisi Spiritual sang Syaikh berkata “Kakiku ini ada di punggung setiap Wali”. Begitu mendengar tersebut Syeh Ali ASl-Hiti langsung bangkit dan meletakkan kaki Syeh Abdul Qodir Al-Jailani di pundaknya. Begitu pula dengan yang lain, mereka telah mengulurkan pundaknya untuk melaksanakan hal tersebut. Syeh Ali bin Abi Barakat Shakr bin Shakr meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar ayhnya pernah berkata “Aku penah berkata kepada pamanku Syeh Uday bin Musafir ‘Sepanjang pengetahuan anda selain Syeh Abdul Qodir Al-Jailani adakah para ulama terdahulu yang berkata ‘Kedua kakiku ini ada di pungggung setiap Wali Allah ?’ “Tidak” jawabnya. ‘Jika memang demiian sambungku, lalu apa makna dari perkataan tersebut ?’ Beliau berkata “itu artinya Syeh Abdul Qodir telah mencapai maqom wali Afrod . ‘Tapi bukankah di setiap generasi terdapat Wali Afrad bantahku lagi. “Benar tapi tidak ada seoranpun yang diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan kalimat ini” jawabnya. ‘Jadi memang beliau diperintahkan untuk mengucapkan kalimat tersebut ? tanyaku. ‘ya’ jawab beliau. Kemudian beliau berkata ‘karena adanya perintah tersebut mereka meletakkan kepala .
Bukankah engkau mengetahui bahwa para Malaikat as bersujud kepada Adam karena adanya perintah krpada mereka untuk melaksanakan hal tersebut. Syeh Baqa bin Bathu An-Nahri Al-Maliki berkata ” Syeh Abdul Qodir berkata’kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah’”. Berkenaan dengan itu Syeh Ibrahim dan Syeh Abi Hasan Ali Arrifa’i al-Bathiahi mwriwayatkan bahwa ayahnya pernah bertanya kepada pamannya Syeh Ahmad Arrifa’i ‘apakah pernyataan Syeh Abdul Qodir ‘ kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah berdasarkan perintah atau tidak?’ Pernyataan tersebut berdasarkan perintah jawab beliau. Dalam sebuah riwayat tyang dinisbatkan kepada Syeh Abi Bakaw bin Hawwar menyatakan bahwa veliau pernah berkata di majlisnya ,”Nanti akan muncul di Iraq seorang non arab yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan manusia. Namanya Abdul Qodir dan tinggalnya di Baghdad, Dia akan berkata ” Kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah” Dan setiap wali akan mengakui bahwa beliau adalah wali Afrad pada zamannya.
Sulthon Auliya dan Syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam berkata, ” Belum pernah kemutawatiran riwayat tenteang sebuah karomah yang sampai kepada kami sebanding dengan kemutawatiran karomah Syeh Abdul Qodir Al Jailani . Beliau adalah orang yang berpegang teguh kepada Syari’ah , menyeru orang-orang untuk melaksanakan syari’ah, dan menghindarkan diri dari yang dilarang olehNya. Beliau berbaur dengan masyarakat sambil terus menerus beribadah dan beliau bisa mencampurkannya dengan sesuatu yang menyibukkan beliau seperti menikah dan memiliki keturunan . Barang siapa yang mengikuti jalan ini maka ia lebih sempurna daripada yang lain. Ditambah lagi apa yang dinyatakan fdi atas merupakan karakter dari Rosulullohi SAW . Diantara karomah beliau adalah pernyataan beliau ‘Kedua telapak kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah. Hal tersebut dikarenakan kesempurnaan beliau tidak tertandingi pada masa itu yang tidak diragukan lagi menjadikannya berhak mendapatkan kehormatan tersebut.
Syeh Mathar meriwayatkan “Suatu hari ketika saya sedang berada di Zawiyah Syeh Abu Wafa’, guruku, di daerah Qailamaya beliau berkata kepadaku ‘Ya Mathar tutup pintu, jika ada seorang pemuda Ajam (non Arab) datang memohon untuk masuk maka jangan diberi dia ijin’. Akupun melaksanakan perintah beliau. ternyata yang datang adalah Syeh Abdul Qodir yang pada waktu itu masih seorang pemuda. Beliau mohon ijin untuk masuk namun Syeh Abu Wafa’ tidak mengijinkannya masuk. Saat itu aku melihat Syeh Abu Wafa’ berjalan hilir mudik dalam zawiyah dengan gelisah. Setelah itu beliau mengijinkannya untuk masuk. Ketika Syeh Abu Wafa’ melihat Syeh Abdul Qodir beliau melangkah mendekat dan memeluknya beberapa lama seraya berkata ‘Abdul Qodir‘ demi Yang Maha Agung aku tidak mengijinkanmu masuk pertama kali bukan karena keinginan zalim terhadap hakmu akan tetapi karena takut terhadap dirimu. Akan tetapi setelah aku ketahui bahwa engkau ingin belajar kepadaku dan menaatiku, baru aku merasa aman. Syaikh Abdurrahman At-Tahfsunaji berkata “Saat Syeh Abdul Qodir datang ke Zawiyah Tajul ‘Arifin Abu Wafa’ beliau berkata kepad para muridnya ‘ Berdiri dan smbutlah Wali Allah’-Pernyataan ini mungkin terjadi pada saat Syeh Abdul Qodir sedang berjalan menuju beliau atau dikeluarkan kepada mereka yang belum bediri ketika Syeh Abdul Qodir datang- Ketika beliau megulang-ulang perintah tersebut, seorang muridnya bertanya kepada beliau sebab pernyataan tersebut.
Beliau menjawab “Pada saatnya nanti pemuda ini akan menjadi sandaran baik golongan khas maupun awam. Aku seakan akan melihatnya seang berbicara di depan khalayak ,”Kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah”. dan pernyataan itu benar adanya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwea beliau adalah Qutb mereka pada saat itu. Barang siapa berjumpa dengannya pada sat itu, berkhidmadlah kepadanya. Syaikh musallamah bin Naimah As-Saruji ketika ditanya tentang siapakah Qutb itu, beliau menjawab, “Beliau sekarang ada di Makkah, bersembunyi dan hanya diketahui oleh orang-orang saleh. Dan akn muncul di sini (Iraq) seorang pemuda ‘ajam yang mulia bernama Abdul Qodir Akan tampak dari beliau beberapa Karomah yang luar biasa . Beliau adalah Qutb waktunya dan Ghauts Zamannya.
Baliau akan berkata di hadapan orang-orang “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah”, dan para Wali akan merendahkan punggungnya kepada beliau. Allah akan memberikan manfaat darinya dan dari karomahnya kepada siapa saja yang mempercayainya. Syaikh Ali Al-Hiti meriwayatkan, “ketika Syaikh Abu Wafa sedang berbicara di dalam majlis, masuklah Syeh Abdul Qodir . beliau memerintahkan para murid untuk mengeluarkannya dan meneruskan ceramahnya. Kemudian untuk yang ke tiga kalinya Syeh Abdul Qodir kembali masuk ke pengajian tersebut. Kali ini Syaikh Abu Wafa’ turun dari kursinya tempat menyampaikan pengajaran lalu memeluk beliau dan menciumi dahinya seraya berkata,’Para penduduk Baghdad, berdirilah demi Wali Allah ini. Perintahku untuk mengusirnya tidak lain agar kalian mengetahuinya bukan untuk menghinanya. Betapa mulia seorang hamba yang kibaran panji di atas kepalanya melingkupi timur dan barat’. Kemudian beliau berkata kepada Syeh Abdul Qodir , “Abdul Qadir, masa sekarang milik kami,dan kelak akan menjadi milikmu. Aku serahkan kepadamu Iraq.
Semua ayam akan berkokok dan berhenti kecuali kokokan ayammu yang tidak akan berhenti hingga hari kiyamat’. Setelah itu beliau memberikan sajadah, baju, tasbih , tempat makan dan tongkatnya kepada Syeh Abdul Qodir. ‘Ambil semua itu dengan bai’at saran seseorang kepadanya. Namun Syaikh Abu Wafa’ berkata, di dahinya terdapat bai’at Al-Makhzuumi’. Setelah majlis tersebut selesai, Taajul ‘arifiin Syaikh Abu Wafa’ turun dan duduk di akhir tangga tempatnya mencapaikan ceramah seraya menggenggam tangan Syeh Abdul Qodir dan berkata, ‘sekarang adalah waktumu.’ Jika beliau datang aku selalu teringat akan kisah ini dan kemuliaan beliau’. Syaikh Umar Al-Bazaar berkata, “tasbih yang diberikan Syaikh Abu Wafa kepada beliau dapat berputar sendiri biji-bijinya jika diletakkan di atas tanah. Setelah bellliau eninggal dunia, tasbih tersebut menjadi milik Syaikh Ali bin Al-Hiti. Begitu juga dengan tangan orang yang menyentuh tempat makan yang diberikan Syaikh Abu Wafa’ kepada beliau akan bergetar hingga bahunya”. Syaikh Muhammad Yusuf Al-Aquuli berkata”Aku berniat berziarah kepada Syeh Uday Bin Musafir. Ketika aku menghadap, beliau bertanya kepadaku ‘dari mana anda ?’Aku adalah salah seorang murid Syeh Abdul Qodir ‘ Jawabku.
Mendengar jawabanku bekliau berkata ‘Bagus, Qutb-Al arda (bumi) yang dengan pernyataannya “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah “ menjadikan 300 Wali dan 700 orang-orang Gaib yang berjalan di bumi maupun yang terbang, mengulurkan pundak mereka kepadanya dalam satu waktu”. Kemudian aku menziarahi Syeh Ahmad Rifa’i dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Syeh Uday saat itu dan beliau berkata “sungguh tepat apa yang disampaikan beliau (Syeh Uday). Syaikh Majid Al Kurdi berkata,”saat Syeh Abdul Qodir mengatakan pernyataan di atas, semua wali di bumi pada saat itu merendahkan lehernya sebagai tanda pengakuan mereka terhadap beliau. Dan tidak ada segolongan jin soleh pun yang tidak datang menghadapnya untuk bertobat dan mengakui beliau hingga mereka berdesak-desakan di pintu rumahnya. Riwayat ini disetujui oleh Syaikh Mathar. Kemudian beliau berkata, “Aku bertanya kepada Syaikh Abdullah bin Sayyidina Syeh Abdul Qodir Al-Jailani ,’apakah engkau menghadiri majlis saat ayahmu berkata ,’kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah , ‘ya’ jawabnya. Kemudian ia berkata,’ yang hadir pada saat itu sekitar 50 orang syaikh’. Ketiks beliau masuk ke dalam rumahnya, yang tersisa hanya Syaaikh Makarim, Syaikh Muhammad Al-Khas, dan Syaikh Ahmad Al-‘Aarini. ‘kamipun duduk dan berbincang-bincang’ ujarnya.
Syaikh Makarim berkata, “Allah memperlihatka kepadaku pada saat itu semua orang yang memiliki panji kewalian di muka bumi mengakui panji kequthuban di tangan beliau dan mahkota ghoutsiah di atas kepala beliau dan jubah otoritas total atas segala yang wujud/eksis , untuk mengangkatnya menjadi Wali atau menurunkannya sesuai syariat dan hakikat. Dan aku mendengar eliau berkata ,”kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap Wali Allah yang akan menundukkan kepala dan merendahkan dirinya kepada beliau bahkan termasuk di dalamnya para abdal yang sepuluh, usltan masa tersebut Masih berkenaan dengan pernyataan Sang Syaikh, Syeh Abu Sa’id Al-Qailawi berkata “ketika Syeh Abdul Qodir mengatakan ‘kedua telapak kakiku ini ada di setiap punggung Wali Allah’ , Allah Tajalli dalam jiwa beliau. Kemudian sekelompok malaikat datang membawakan jubah kebesaran Rosululloh SAW untuk dipakaikan kepada beliau di hadapan para Wali terdahulu maupun yang akan datang.-yang hidup datang dengan jasadnya, yng sudah meninggal datang dengan ruhnya. Para malaikat dan Rijal Al-Ghaib mengelilingi majlisnya dan berbaris ber shaf-shaf di udara , begitu banyak jumlahnya hingga seluruh ufuk penuh dengan kehadiran mereka.
Dan semua Wali yang ada di muka bumi ini menundukkan kepala untuk beliau”. Syeikh Kholifah Al Akbar bercerita “Saat aku bertemu dengan Rosululloh SAW dalam mimpi aku bertanya kepad beliau ,’ Yaa Rosululloh Syeh Abdul Qodir trlah berkata ‘Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah ‘ Beliau menjawab ‘Yang diucapkan oleh beliau adalah benar. Bagaimana mungkin tidak benar apabila dia adalah Qutb (para wali) dan aku (Rosululloh SAW yang mengawasinya. Di hari Jum’at 3 Ramadan 599 H. seorang pria datang menghadap Syeh Hayyan bin Qis Al-Harani di masjid Al Hiran memohon Khirqah (jubah kesifian tanda bai’at) kepada beliau. “Dalam dirimu talah terdapat tanda selain aku’ kata beliau kepadanya. orang itu berkata, ‘benar aku pernah bertemu Syeh Abdul Qodir namun tidak ber bai’at kepada beliau”. Syeh Hayyan berkata “selama beberapa waktu kita telah hidup di bawah bayangan kehidupan Syeh Abdul Qodir Al Jailani .telah kita meminum gelas-gelas kebahagiaan dari mata air pengetahuan beliau. dan Dari Beliau diperoleh rahasia para Wali menurut tingkatan mereka.
Suatu saat Syeh Lulu Al Armani ketika bertemu dengan Syeh Atha’ Al-Masri , beliau meminta untuk menyebutkan para gurunya. Syeh Lulu berkata ,”Atha’ guruku adalah Syeh Abdul Qodir Al Jailani yang menyatakan “kedua telapak kakimku ini ada di punggung setiap Wali Allah .Dan pada saat beliau selesai mengucapkan hal tersebut tercatat 313 Wali Allah dari segala penjuru dunia menundukkan kepala meeka , 17 orang berada di Haramain , 60 orang di Iraq, 40 orang di negeri non Arab, 40 orang di Syam, 20 orang di mesir, 27 orang di Maroko, 11 orang di Habsyah, 7 orang di tembok penahan Ya’juj dan Ma’juj, 7 orang di Wadi Sarandib, 47 orang di gunung Qof, 20 orang di daerah teluk. Dan banyak yang besaksi bahwa pernyataan tersebut diucapkan berdasarkan perintah Allah. Kemudian beliau melanjutkan.”Aku sendiri melihat para Wali di timur maupun di barat merundukkan kepala mereka kepada Syeh Abdul Qodir kecuali seorang Wali di daerah luar Arab yang kemudian hilang tanpa bekas. Diantara mereka yang merundukkan kepalanya kepada beliau adalah Syeh Baqa’ bin Bathu’ , Syeh Abu Sa’id Al-Qaylawy , Syeh Ahmad Arrifa’y yang dalam sebuah riwayat memanjangkan lehernya dan melihat punggungnya seraya berkata,’Memang ada di punggungku’. Saat di tanya mengenai perkataannya itu, beliau berkata,’saat ini di Baghdad , Syeh Abdul Qodir sedang berkata ,’ Kedua telapak kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah‘.
Termasuk diantara mereka yang menundukkan kepala kepada beliau adalah Abdurrahman Athafsunaji, Abu Najib Assahrawardi, yang mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar hal tersebut seraya berkata’di atas kepalaku. Musa Al Jazuli, Musa Al Harani, Abu MUhammad bin ‘Abd, Abu Umar, Ustman bin Marzuq , Abu Al-Karam , Majid Al Kurdi , Suwaid Annajari, Ruslan Addimasqi, yangmenundukkan kepalanya di Damaskus seraya berkata kepada para muridnya ‘Allah memiliki mutiara yaitu orang yang minum dari lautanAl Quds dan duduk di permadani ma’rifah serta menyaksikan keMaha Agungan Rububiyah / ketuhanan dan ke Maha Besaran Wahdaniyah (ketunggalan). Sifat (kemanusiaannya) lenyap saat menyaksikan keMaha Besaran Nya Eksistensinya lebur saat menyaksikan ke-WibawaanNya Maka dipakaikannya kepadanya jubah keacuhan (terhadap dunia) dan ditempatkan di puncak tangga Al-Inayah hingga beliau mencapai maqom yang telah ditentukan dan didudukkan di puncak ruh Azaly .
Dia berbicara dengan hikmah dari lembaran-lembaran cahaya, bercampur dengan kepekatan rahasiaNya. Hilang kesadarannya ketika berada di Hadirat Allah dan tidak pernah terputus denagn Allah ketika Ia kembali sadar. Berdiri dengan penuh rasa malu, berbicara dengan tawadhu’ mendekatkan diri dengan penuh kerendahan, berbicara dengan kemuliaan , baginya ucapan selamat dan salam terbaik adalah berasal dari Tuhannya. ‘Apakah di dunia ini ada orang yang memiliki ciri seperti itu ?’ tanya seseorang kepada beliau’Ada, dan Syeh Abdul Qodir pemimpin mereka’jawab beliau. Di Maroko (Maghrib) Syaikh Abu Madin (setelah mendengarkan pernyataan Syaikh Abdul Qadir ) memanjangkan lehernya dan berkata, ‘benar dan aku salah seorang dari mereka. Yaa Allah aku bersaksi kepadaMu dan kepada para MalaikatMu bahwa aku mendengar dan patuh’. Kemudian termasuk diantara mereka adalah Syaikh Abu Na’im AL-Maghribi, Syaikh Abu Umar dan Utsman bin Marwazih Al-Bathiahi, Syaikh Makarim, Syaikh Khalifah, Syaikh Uday bin Musafir. Pada saat beliau mengucapkannya banyak orang yang melihat rombongan orang yang terbang di udara untuk menghadap beliau berdasarkan perintah Khidir as. Dan setelah mengucapkan selamat, seorang wali berkata kepada beliau, ‘eahai raja zaman, pengusas tempat, pelaksana perintah Sang Maha Pengasih, pewaris kitab Allah dan wakil RasuluLlah SAW, yang dianugerahi langit dan bumi, yang menjadikan seluruh orang pada masanya sebagai keluarganya, yang doanya dapat menurunkan hujan, dan berkahnya menghilangkan mendung, yang menjadikan kepala orang yang menghadapnya tertunduk, yang makhluk gaib hadir di hadapannya sebanyak 40 shaf, dengan 70 orang Gaib pada setiap shaf, yang ditelapak tangannya tertulis bahwa dia tidak akan mendapat makar dari Allah, dan di umurnya yang ke dua puluh para malaikat berputar di sekelilingnya serta menyampaikan kabar gembira kewalian beliau’.
Pada suatu masa, air sungai dajlah meluap dan membanjiri Baghdad.Orang-orangpun mendatangi beliau memohon pertolongannya. Sambil membawa tongkatnya beliau berjalan menuju tepian sungai dan menancapkannya di batas air seraya berkata, “cukup sampai di sini” dan saat itu pula air sungai tersebut menyurut. Syaikh Abdullah Dzayyal berkata, “suatu saat ketika berada di madrasah beliau di tahun 560 H aku melihat beliau memegang tongkat. Saat itu aku berharap aku dapat melihat karamah yang keluar dari tongkat tersebut. Beliau kemudian memandang ke arahku sambil tersenyum lalu menancpakan tongkatnya ke tanah, seketika itu pula cahayanya menyembur dari tanah, menembus awan dan menjadikan langit terang benderang beberapa saat. Beliau kemudian mencabutnya kembali dan keadaan pun kembali seperti semula. Beliau berkata kepadaku, ‘Dayyal, bukankah ini yang engkau kehendaki’”. Syaikh Abu Taqy Muhammad bin Al-Azhar Ash-Shariifni berkata, “selama setahun penuh aku memohon kepada Allah untuk dapat melihat salah seorang dari rijal Al-Ghaib. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengan seorang pria saat sedang menziarahi makam Imam Ahmad bin Hambal. Terbetik dalam hatiku bahwa beliau adalah salah seoraang rijal Al-Ghaib. Akupun terbangun dan sengan harapan dapat bertemu dengannya akupun pergi ke makam Imam Ahmad bin Hambal . akupun bertemu dengan orang yang ada di dalam mimpiku di sana. Saat beliau keluar aku mengikutinya hingga sampai ke tepi sungai Dajjlah. Di tepian tersebut beliau menarik tepian sungai tersebut hingga keduanya hanya berjarak satu langkah dan menyeberanginga. Aku memohon kepadanya untuk berhenti dan berbicara kepadaku. Aku bertanya, “apa mazhabmu ?”. “Aku bermazhab Hanafi, seorang muslim dan bukan musyrik”. Jawab beliau. Kemudian hatiku seakan – akan berkata, ‘pergi ke Syaikh Abdul Qadir dan ceritakan apa yang engkau alami’. Akupun mengunjungi sang Syaikh. Setibanya aku di pintu madrasah, beliau berkata dari dalam rumah tanpa membuka pintunya, ‘yaa Muhammad, saat ini hanya dialah seorang wali yang bermazhab Hanafi di muka bumi ini’.
Suatu saat beliau naik ke atas kursi tempat beliau mengajar, tidak berbicara dan tidak menyuruh pembaca kitab untuk membacakannya. Dan orang-orang yang hadir memasuki kondisi ektase dan perkara yang agung memasuki mereka. Salah seorang yang hadir bertanya dalam hati, “apa ini ?”. beliau berkata, “seorang muridku datang dengan satu langkah dari baitul Muqaddas kemari untk bertaubat dan semua yang hadir pada saat ini dianggap sebagai tuan rumahnya. “dalam hatinya orang tersebut berkata, “jadi siapa yang mengalami kondisi seperti ini adalah mereka yang bertaubat ?”. pernyataan tersebut dijawab sang Syaikh, jangan engkau berharap kepadanya. Dia datang kepadaku dan memintaku untuk mengajarinya jalan untuk mencinta”. Pernah suatu saat Syaikh Abdul Qadir berjalan di atas udara di depan banyak orang dan berkata, “Matahari selalu menyampaikan salam kepadakusetiap ia ingin terbit. Demikian pula halnya dengan hari, bulan dan tahun. Mereka –juga- menginformasikan kepadaku tentang apa tentang apa yang terjadi.
Di beberkan kepadaku Lauh Al-MahfudzI tentang siapa yang mendapatkan kesenangan dan siapa yang mendapatkan kesusahan. Aku tenggelam dalam lautan Ilmu dan Musyahadah –Nya. Aku adalah sandaran kalian dan wakil RasuluLlah SAW di muka bumi”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setiap wali berada di bawah telapak kaki para Nabi dan aku berada di bawah telapak kaki kakekku RasuluLlah SAW. Semua tempat yang aku injak maka bekasnya akan emnjadi telapak kaki Nabi.” Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku adalah Syaikh bagi para manusia dan jin.” Di lain kesempatan beliau berkata, “jika kalian bertanya kepada Allah, tanyakan aku kepadaNya. Wahai penduduk bumi, dari timur hingga barat, kemarilah dan belajar dariku. Wahai penduduk Iraq, Ahwal –kondisi spiriutal- yang kumiliki seperti baju yang tergantung di rumah. Baju manasaja yang engkau pilih akan aku pakaikan kepadamu. Hendaknya kalian menyampaikan salam atau akan aku bawakan pasukan tiada tanding. Hai saudara, berkelanalah 1000 tahun agar engkau dapat mendengarkan perkataanku. Saudara, kewalian dan beberapa derajad spiritual ada di sini, di majlisku.
Semua Nabi yang diciptakan Allah dan semua wali menghadiri majlisku baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Yang masih hidup dengan fisik mereka sedangkan yang sudah meninggal dunia dengan rohnya. Saudara sekalian tanyakan diriku kepada Munkar dan Nakir ketika mendatangi kalian (di kubur) maka mereka akan menceritakan diriku kepada kalian.” Abu Ridho, pelayannya meriwayatkan, dalam suatu kesempatan Syaikh Abdul Qadir berbicara tentang roh. Di tengah penjelasan, beliau diam, duduk dan kemudian bangkit kembali seraya bersenandung, Rohku telah diciptakan dengan hikmah dalam ke-qadiman, sebelum ia mewujud, ketika ia dalam ketiadaan sekarang, bukankah suatu kebaikan setelah aku mengenal kalian lalu aku pindahkan kakiku dari jalan hawa kalian. Di lain riwayat, Abu Ridho bercerita, “suatu hari ebliau menjelaskan tentang cinta. Tiba-tiba beliau bangkit dan diam. Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak akan berbicara kecuali dengan 100 dinar.’ Orang-oranagpun menyerahkan kepada beliau apa yang beliau minta. Kemudian beliau memanggilku dan berkata, ‘pergilah engkau ke pekuburan Syunuziyah dan cari seorang syaikh yang sedang bermain-main dengan kayu lalu berikan emas ini kepadanya dan bawa ia kepadaku’. Kemudin akupun pergi dan menemukan syaikh yang beliau maksud sedang berdiri dan memain-mainkan tongkat kayu.
Akupun mengucapkan salam dan menyerahkan emas tersebut kepadanya. Dia berteriak dan jatuh pingsan. Saat beliau sadar aku bertanya kepadanya, ‘Syaikh, Syaikh Abdul Qadir ingin bertemu denganmu’. Beliau kemudian bangkit dan menemui Syaikh Abdul Qadir. Setibanya di sana Syaikh Abdul Qadir memberikan perintah untuk menaikkannnya di kursi tempat beliau mengajar dan meminta orang tersebut untuk menceritakan kisahnya. Dia berkata, ‘Tuanku, sewaktu aku masih muda aku adalah seorang penyanyi bagus yang dikenal banyak orang. Tetapi setelah aku tua, tidak ada seorangpun yang memperhatikan aku. Aku pergi dari Baghdad dan berkata dalam hati, “aku tidak akan menyanyi kecuali untuk yang mati”. Saat aku mengelilingi kuburan ini, aku duduk di salah satu kuburan yang ternyata telah terbelah dan nampak kepala mayat yang ada di dalamnya. Mayat tersebut berkata kepadaku, “Mengapa engkau menyanyi untuk orang-orang mati, bernyanyilah untuk Yang Maha Hidup sekali maka Dia aakn memberikan kepadamu apa yang engkau inginkan”. Akupun jatuh pingsan, dan setelah tersadar aku berkata Tuhanku, aku persiapkan apa yang aku miliki untuk hari pertemuan dengan-Mu, kecuali pengharapan hati dan ucapan mulutku. Memang, sudah asalnya para pengharap mengharapkan harapan dan mereka akan bersedih apabila engkau menolaknya Jika hanya golongan Muhsin yang boleh berharap kepadaMu, lalu kepada siapa si pendosa berlindung dan melarikan diri.
Ubanku membuatku jelek di hari penghabisan dan perjumpaan denganMu, semoga engkau menyelamatkan aku dari apiku. Saat aku berdiri, pelayan anda datang membawakan emas ini”. Sambil mematahkan tongkat kayu yang ada di tangannya dia berkata, sekarang aku bertobat kepada Allah’. Usai mendengarkan kisah tersebut, Syaikh Abdul Qadir berkata, “Yaa fuqara’ , jika kejujuran (orang ini) terhadap sesuatu yang sia-sia saja menyebabkannya memperoleh apa yang ia inginkan, apalagi dengan para sufi yang bersungguh-sungguh dalam kesufian, ahwal dan thariqahnya”. Kemudian beliau melanjutkan, “hendaklah kalian berlaku jujur, dan bersih hati. Tanpa keduanya, tidak mungkin seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah, “Jika berbicara hendaklah kalian berkata jujur””. Saat beliau meminta 100 dinar, ada 40 orang mengantar jumlah yang sama kepada beliau. Beliau hanya mengambil dari satu oraang, dan setelah orang ini bertaubat, sisa dari uang pemberian tersebut beliau bagikan kepada orang-orang. Peristiwa hari itu menyebabkan 5 orang meninggal dunia. Al-Kaimani, Al-Bazaar, dan Abu Hasan Al-Ali yang dikenal dengan As-Saqazar bercerita bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban tahun 529 H. Syaikh Abdul Qadir bersama rombongan mengunjungi pekuburan Syunizi. Beliau berhenti di pekuburan Syaikh HammadAd-Dabbas agak lama kemudian menlanjutkan perjalanannya dengan muka berseri-seri. Pada saat ditanya sebab lamanya beliau berhenti dan berseri-serinya muka Beliau, sang Syaikh menjawab, “Pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 499 H aku bersama murid Syaikh Hammad mengikuti beliau keluar Baghdad.
Setibanya di jembatan Yahud, beliau mendorongku sampai aku tercebur ke sungai-pada saat itu udara sangat dingin-kemudian mereka berlalu dan meninggalkanku. Aku berkata dalam hati, “Aku berniat mandi Jum’at”. Saat itu aku mengenakan jubah sufi dan di lenganku terdapat sebuah jubah lagi yang membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku kemudian keluar dari air dan memeras jubah tersebut dan menyusul mereka dalam kondisi kedinginan hingga menusuk ke tulang. Melihat kondisiku, para murid bermaksud hendak menolongku namun beliau melarangnya seraya berkata, “Apa yang aku lakukan adalah untuk mengujinya, dan aku mendapatinya bagai gunung, kokoh tak bergerak”. “Hari ini aku melihat beliau dalam kubur memakai jubah dari cahaya bertabur permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota dari Yakut . di tangan kirinya terdapat gelang dari emas dan beliau memakai dua sandal dari emas. Tapi tangan kanannya hilang. ‘Ada apa dengan lengan ini ?’ tanya ku kepada beliau. Beliau menjawab, ‘inilah tangan yang aku pergunakan untuk mendorongmu’. Kemudian beliau berkata, ‘maukah engkau memaafkan perbuatanku itu ?’ ‘Ya’ jawabku. ‘jika demikian’ kata beliau, ‘mohonkan kepada Allah agar Dia mengembalikan lenganku seperti sedia kala’. Akupun memohonkan kepada Allah untuk itu dan pada saat itu 5000 wali turut memohon kepada Allah, mendukungku dari kubur mereka. Aku terus memohon kepada Allah hingga akhirnya Allah mengembalikann lengan kanannya dan beliau menjabat tanganku dengan tangan kanan tersebut.
Dengan demikian sempurnalah kebahagiaannya dan kebahagiaanku.” Ketika kabar tersebut tersebar di Baghdad para murid Syaikh Hammad beramai-ramai mendatangi sang Syaikh untuk meminta klarifikasi atas pernyataan tersebut. Setibanya di madrasah beliau, sebagai rasa hormat mereka kepada beliau, tidak ada seorangpun yang memulai pembicaraan. Beliaupun kemudian memulai pembicaraan dengan menerangkan maksud kedatangan mereka saat itu. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalian pilih dua orang. Insya Allah melalui mereka berdua akan jelas apa yang aku ucapkan”. Mereka kemudin memilih Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Yang pada saat itu ada di Baghdad, dan Syaikh Abdurrahman AL-Kurdi yang memang tinggal di Baghdad. Mereka berdua termasuk orang-orang yang dianugerahi kasyf .’Kami serahkan urusan ini kepada kalian’ kata mereka kepada kedua Syaikh tersebut. ‘Bahkan kalian jangan beranjak dari tempat kalian berada sampai terbukti apa yang aku ucapkan’ kata beliau kepada mereka. Kemudian beliau menghentakkan kakinya ke tanah dan pada saat itu para sufi di luar telah berteriak memberitahu bahwa Syaikh Yusuf Al Hamdani RA telah datang dengan berjalan bertelanjang kaki sampai beliah masuk ke madrasah sang Syaikh. Di sana beliau berkata, ‘Aku bersaksi bahwa Syaikh Hammad Ad-Dabbas berkata kepadaku, “Cepatlah datangi majlis Syaikh Abdul Qadir dan katakan pada para Syaikh yang hadir bahwa apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir adalah benar adanya’. Beliau sempat menamatkan perkataannya, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman Al-Kurdi datang dan beliau menyatakan pernyataan seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Setelah mendengarken pernyataan tersebut, mereka bangkit dan memohon maaf kepada Syaikh Abdul Qadir”. Seseorang berkata kepada beliau, “Kami berpuasa seperti yang Anda lakukan, dan melaksanakan shalat sepertiyang Anda lakukan.
Tapi tidak ada satupun kondisi spiritualmu yang dapat kami lihat”. Beliau berkata, “kalian dapat bersaing denganku dalam hal melaksanakan amal, akan tetapi kalian tidak dapat bersaing denganku dalam hal anugerah yang diberikan kepadaku. Demi Allah, aku tidak akan makan sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, makan’. Aku juga tidak minum sampai Allah berkata kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, minum’. Dan aku tidak akan melakukan sesuatu kecuali berdasarkan perintah Allah”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada suatu ketika di masa mujahadahku (perjuangan) aku tertidur. Dalam tidur tersebut aku mendengar suara yang berkata kepadaku, ‘Ya Abdul Qadir, Kami tidak menciptakanmu untuk tidur. Kami telah hidupkan engkau maka jangan lupakan Kami’”. Syaikh Abu Naja Al-Baghdadi, pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa pernah suatu ketika hutang sang Syaikh kepada beberapa orang telah mencapai 250 dinar, lalu datanglah oraaang yang tidak aku kenal dan masuk tanpa ijin lalu duduk dihadapan sang Syaikh. Dia mengeluarkan uang seraya berkata, “ini adalah pembayar hutang” kemudian ia pergi. Kemudian beliau memerintahkan agar uang tersebut dibagikan kepada yang berhak. Kemudian –kata Syaikh Abu Naja- ketika aku menanyakan siapa orang tersebut, sang Syaikh berkata, “Dia adalah yang berjalan menurut Al-Qadar”. “Siapa yang berjalan menurut Al-Qadar” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Dia adalah malaikat yang diutus Allah kepada para waliNya yang memiliki hutang untuk melunasi hutang-hutang mereka”. Syaikh Uday bin Abu Barakat meriwayatkan bahwa ayahnya meriwayatkan dari pamannya Syaikh Uday bin Musafir. Beliau berkata, “suatu ketika saat Syaikh Abdul Qadir memberikan pengajaran, turunlah hujan yang membuat orang-orang berpencar. Sang Syaikh menengadahkan kepalanya kep arah langit dan berkata, ‘Aku mengumpulkan mereka untukMu dan Engkau cerai beraikan mereka seperti ini’. Seketika itu pula hujan berhenti, tidak ada satu tetespun air yang turun di majlis tersebut sedangkan di luar madrasah hujan tetap lebat”. Syaikh AbdulLah Al-Jaba’I meriwayatkan, “ Pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir sedang berbicara tentang bagaimana menghilangkan ujub.
Tiba-tiba Beliau memalingkan Muka Beliau kepadaku dan berkata, ‘Apabila engkau melihat sesuatu yang berasal dari Allah dan hal tersebut menggiringmu untuk melakukan kebaikan serta engkau dapat melepaskan dirimu dari (meminta) penjelasan akan hal tersebut maka engkau telah lepas dari sifat ujub’”. Syaikh orang-orang sufi, Syaikh Syihabuddin Umar As-Sahrawardi berkata, “Dulu saat aku masih muda, aku menenggelamkan diriku untuk mempelajari ilmu kalam. Aku hafal berbagai karangan dalam bidang tersebut dan segera menjadi seorang pakarnya. Pamanku telah memperingatkanku akan hal tersebut namun aku tidak mempedullikannya, sampai suatu hari aku dan dia menziarahi Syaikh Abdul Qadir. Beliau berkata kepadaku, ‘’Umar, Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin), sebelum pembicaraan itu’. Kami adalah orang-orang yang kalbunya selalu mendapatkan bisikan dari Allah. Sekarang lihatlah posismu di hadapan Allah agar engkau dapat melihat keberkahan melihat-Nya”. “ketika kami sudah duduk bersamanya, pamanku berkata kepada beliau, ‘Kmenakanku ini menyibukkan dirinya dengan ilmu kalam. Aku sudah larang dia akan tetapi dia tidak mematuhiku’. Mendengar penuturan pamanku, beliau mengulurkan tangannya yang penuh berkah ke dadaku dan berkata, ‘Kitab apa saja yang telah engkau hafal ?’. Akupun menjawab dengan menyebutkan berbagai kitab yang telah aku hafal. Demi Allah, saat beliau mengangkat tangannya dari dadaku, tidak ada satu katapun dari kitab-kitab, yang sebelumnya aku hafal di luar kepala, yang masih aku ingat. Saat itu juga Alah Ta’ala telah melupakan aku tentang berbagai masalahnya dan menanamkan dalam dadaku ilmu laduni. Aku bangkit dari hadapannya sambil berbicara dalam bahasa hikmah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Umar, engkau adalah orang-orang terakhir yang termasuk golongan orang-orang masyhur di Iraq”. Syaikh Abdul Qadir adalah Sulthan ahl-Thariqah yang dianugerahi otoritas atas semua eksistensi. Abu Faraj bin Hamami bercerita, “Aku banyak mendengar cerita-cerita mustahil yang muncul dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani ra. Yang tidak dapat aku terima. Akan tetapi karena itulah aku ingin sekali bertemu dengan beliau. Suatu saat, aku pergi ke Bab Al-Azij untuk suatu keperluan. Ketika pulang aku melewati madrasahnya dan tepat pada saat itu muazin telah mengumandangkan shlalat ashar.
Dalam hati aku berkata, ‘aku akan shalat ashar dan berkenalan dengan sang Syaikh’. Saat itu aku lupa bahwa aku belum berwudhu dan langsung shalat. Setelah selesai shalat, Syaikh Abdul Qadir menjumpaiku dan berkata kepadaku, ‘Anakku, jika engkau datang kepadaku dengan suatu hajat pasti akan aku kabulkan. Sayangnya sekarang engkau benar-benar lupa bahwa engkau belum berwudhu ketika melakukan shalat’. Pengetahuan beliau terhadap sesuatu yang tersembunyi menimbulkan kekaguman kepadaku akan kkondisi spiritual yang telah beliau capai. Sejak saat itu aku selalu mengikutinya, mencintainya dan emlayaninya. Dari keajdian tersebut aku mengetahui keluasan berkah beliau”. Al-Jaba’I berkata, “ketika mendengar kitab Haliyatul Auliya’ oleh ibnu Nashir, terbetik dalam hatiku untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari manusia dan menyibukkan diri beribadah. Saat shalat Ashar, aku berjama’ah bersama Syaikh Abdul Qadir. Selesai shalat beliau melihat ke arahku dan berkata, ‘jika engkau benar-benar ingin berkontemplasi (khalwat), maka jangan lakukan itu sebelum engkau benar-benar menguasai agama, bergaul dengan para Syaikh dan belajar dari mereka. Saat itulah engkau boleh berkontemplasi (khalwat). Jika engkau tidak melakukan itu maka engkau akan terputus sebelum engkau menjadi ahli dalam bidang agama. Engkau juga akan merasa bangga atas apa yang engkau miliki. Tapi ketika ada masalah agama yang engkau tidak ketahui, engkau akan keluar dari zawiyahmu dan bertanya kepada orang-orang tentang hal tersebut. Sebaik-baik kontemplator (orang yang berkhalwat) adalah mereka yang bagaikan lilin, amemberikan penerangn dengan cahayanya”. Syaikh Abu Abbas Al-Khidr Al-Husain Al-Maushuli meriwayatkan, “pada suatu malam, saat kami sedang berada di madrasah Syaikh Abdul Qadir, datanglah khalifah AL-Mustanjid biLlah Abu Mudzaffar Yusuf bin Al-Imam Al-Muftaqi li amriLlah Abu AbduLlah Muhammad Ad-Dabbas. Beliau mengucapkan salam kepada sang Syaikh dan memohon nasihatnya sambil meletakkan 10 kantung uang yang dipikul oleh 10 orang budak. Syaikh berkata, “Aku tidak membutuhkan ahrta ini”. Namun sang Imam berkeraas agar Syaikh Abdul Qadir menerimanya. Syaikh Abdul Qadir kemudian mengambil 2 kantung uang yang paling besar dan paling berat lalu memeras keduanya dengan tangan beliau, maka mengalirlah darah.
Berkatalah Syaikh kepada Khalifah, ‘Mudzafar, engkau peras darah rakyat lalu engkau berikan kepadaku. Tidakkah engkau malu kepada Allah ?’. sang khalifahpun pigsan mendengar hal tersebut. Kemudian sang Syaikh emlanjutkan, ‘Kalau buan karena rasa hormatku kepada garis keturunannya dengan RasuluLlah SAW, akan aku biarkan darah tersebut mengalir hingga pintu istananya’. Syaikh Abu Hasan Ali Al-Quraisy berkata, “saat aku menghadiri salah satu majlis sang Syaikh tahun 559 H datanglah rombongan golongnan rafidah membawa dua buah keranjang tertutup dan berkata kepada beliau, ‘Beritahu kami apa isi dua keranjang ini’. Beliau turun dari kursi dan mengulurkan tangannya memegang salah satu keranjang tersebut dan berkata, ‘Yang ini berisi anak yang lumpuh’. Lalu beliaiu memerintahkan puteranya Abdurrazaq membuka keranjang tersebut dan isinya seperti yang beliau ucapkan. Beliau pegang kaki anak tersebut kemudian berkata, ‘Bankitlah dengan ijin Allah’. Seketika anak tersebut bangkit. Kemudian beliau memegang keranjang yang lain dan berkata, “keranjang ini berisi anak yang sehat dan tidak cacat’. Ketiak keranjang tersebut dibuka, maka keluarlah seorang anak yang sehat, sang Syaikh memegang ubun-ubunnya dan berkata, ‘Duduklah’. Seketika itu pula anak tersebut menjadi lumpuh. Rombongan rafidah tersebut bertobat di hadapan beliau dan pada saat itu 3 orang meninggal dunia’. Diriwayatkan, dari Yahya bin Junah Al-Adib bahwasanya beliau berkata, “Dalam hati aku berkata”. ‘Aku ingin menghitung berapa banyak sang Syaikh melantunkan sya’ir di dalam majlisnya dengan menggunakan benang dari pakaianku. Akupun kemudian menghadiri majlis pengajiannya dan setiap beliau melantunkan sya’ir maka aku ikatkan benang di bawah pakaianku.
Ditengah-tengah beliau bersya’ir tiba tiba beliau berkata, ‘Aku melepaskan ikatan sedang engkau mengikatnya’”. Syaikh Abu Hasan (Ibnu Syathantah) Al-Baghdadi berkata, “Saat aku belajar kepada sang Syaikh, aku sering berjaag di malam hari untuk melayani beliau. Pada suatu malam di bulan Shafar tahun 553 H, aku melihat beliau keluar dari ruangannya. Akupun menyodorkan tempat air untuk berwudhu kepada beliau namun beliau tidak mempedulikan tawaranku dan terus bergerak menuju pintu madrasah. Kemdian beliau memberi isyarat kepada pintu madrasah tersebut maka pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kemudian beliau terus berjalan keluar sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku berkata dalam hatiku bahwa beliau tidak mengetahui kalau aku ikuti dari belakang. Beliau terus berjalan ke arah pintu gerbang kota Bagdad, maka beliaupun memberikan isyarat kepada pintu tersebut dan pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kami terus berjalan, namun tak berapa lama tibalah kami di suatu tempat semacam ribath yang sama sekali tidak aku ketahui. Di dalam ribath tersebut terdapat 6 orang yang sedang duduk, dan ketika mereka mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir maka merekapun segera menyambut beliau seraya mengucapkan salam. Aku segera pergi ke sudut bangunan tersebut dan dari dalam bangunan terdengarlah suara dengungan dan rintihan. Tak berapa lama, suara tersebut berhenti , kemudian seorang pria masuk ke dalam ruangan yang tadi terdengar rintihan lalu keluar dengan membawa seseorang di atas pundaknya.
Setelah itu seseorang yang tidak mengenakan sesuatu di kepalanya dengahn kumis yang lebat masuk dan duduk di hadapan sang Syaikh dan kemudian mengambil dua kalimah syahadah dari beliau kemudian memotong kumis serta rambutnya. Setelah itu beliau kenakan thaqiyah (topi) di kepalanya dan memberikan nama Muhammad kepadanya serta berkat kepada yang lain, ‘Aku telah diperintahkan untuk menjadikannya sebagai ganti dari yang meninggal’. ‘Kami mendengar dan patuh’ jawab yang lain. Baliau lalu keluar dari ruangan tersebut seraya meninggalkan mereka. Setelah itu beliau berjalan dan tak lama kami tiba di pintu gerbang kota Baghdad. Pintu tersebut kembali terbuka dan menutup dengan sendirinya setelah kami melewatinya. Demikian juga tak berapa lama kami tiba di Madrasah kemudian memasukinya. Keesokan harinya aku mohon kepada sang Syaikh untuk menceritakan apa yang aku lihat. Maka beliaupun menjawab, “Adapun negeri yang kita datang kemarin adalah negeri Nahawand. Enam oran yang engkau lihat adalah para wali abdal dan suara dengungan yang engkau dengar adalah wali yang ke tujuh. Dia sedang sakit dan aku hadir di sana untuk melayatinya. Adapun orang yang aku ambil syahadatnya adalah seorang nashrani dari Konstantinopel dan aku perintahkan ia untuk menjadi ganti ari si mayit. Adapun orang yang masuk dan keluar sambil menggendong jenasah adalah Abul Abbas Al-Khidhir AS yang diperintah Allah untuk mengurus jenasah wali yang wafat”. Kemudian beliau mengambil sumpahku untuk tidak menceritakan peristiwa tersebut selama beliau masih hidup. Beliau berkata, “Takutlah kamu untuk tidak membuka rahasia ini selama aku masih hidup”. Abu Sa’id AbdulLah bin Ahmad bin Ali Al-Baghdadi Al-Azji bercerita, “Pada tahun 537 H anak perempuanku seorang perawan berusia 16 tahun naik ke atas atap rumahku dan kemudian hilang.
Akupun pergi menghadap Syaikh Abdul Qadir dan menceritakan hal tersebut. Beliau berkata kepadaku, “Pergilah ke pegunungan Al-Karh. Duduklah di puncak ke lima dan buatlah tanda lingkaran di sekitarmu sambil berkata, ‘BismiLlaahiRrahmaanirRahiim, atas niat Syaikh Abdul Qadir. Nanti ketika hari mulai gelap akan banyak jin yang melewatimu. Mereka tidak akan dapat menyakitimu. Pada waktu sahur, raja raja mereka akan lewat beserta bala tentaranya dan mereka akan menanyakan maksud kedatanganmu. Saat itulah ceritakan kepada mereka perihal anakmu’. Akupun melaksanakan perintah tersebut. Ketika hari muali gelap, geromblan jin dengan bentuk yang sangat menakutkan namun mereka tidak dapat menyakitiku atau menggangguku. Gerombolan demi gerombolan terus berlalu hingga waktu sahur datanglah raja mereka dengan mengendarai seekor kuda dan berdiri di luar lingkaran menghadap ke arahku. Dia berkata, ‘hai manusia apa keperluanmu’. “Syaikh Abdul Qadir mengutusku kepadamu”. Jawabku. Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir maka raja jin tersebut turun dari kudanya mencium tanah dan duduk, begitu pula dengan para jin lain yang menyertainya.
Kemudian ia berkata, ‘apa yang terjadi pada dirimu ?’. akupun menceritakan kepada mereka aka kisah puteriku yang hilang. Setelah mendengar penuturanku, dia berkata kepada para jin, ‘Siapa yang melakukan ini’. Tidak ada satu jinpun yang mengakuinya. Lalu datanglah seorang jin bersama anakku. Sang raja berkata, ‘ini adalah pembangkang dari negeri cina’. ‘apa yang mendorongmu berani melakukan hal ini di bawah atap sang qutb ?’. tanyanya kepada jin tersebut. Jin tersebut berkata, ‘perempuan tersebut menarik hatiku dan aku mencintainya’. Sang raja kemudian memerintahkan jin tersebut untuk dipenggal kepalanya dan menyerahkan anakku kembali. Aku berkata kepadanya, ‘Aku belumpernah melihat jin dengan derajad tinggi sepertimu memenuhi perintah Syaikh Abdul Qadir’. Dia berkata, ‘Benar, dari rumahnya beliau memandang kepada jin pembangkang yang pada waktu itu berada di dasar bumi.kewibawaannya membuat para pembangkang tersebut kembali ke tempat mereka. Sesungguhnya jika Allah mengangkat seorang Qutb maka Dia akan menjadikannya sebagai Qutb diantara jin dan manusia’
Langganan:
Postingan (Atom)