Minggu, 24 November 2013

Meniti Ilmu Di Atas Manhaj Salaf

Manhaj Salaf,[1] merupakan satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla hanya diberikan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan). Dinyatakan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [at-Taubah/9:100].

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyebutkan jaminan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan). Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan), ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini secara menyeluruh.

Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun terang-terangan”.[2]

MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj salaf. Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj ini, ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan terhindar dari segala bentuk syubhat,[3] sekaligus terbimbing dalam pengamalan ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat (hawa nafsu, Red.).[4]

Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ

Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal). [an-Najm/53:2].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua kerusakan. Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan),[5] dan al-ghawâyah/al-ghayy (penyimpangan).[6] Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah seorang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.[7]

Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam). Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin. Artinya para khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan, seseorang yang benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn dan termasuk pula para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan, maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan mengamalkan agama Islam ini.

Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak hanya mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.

Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami al-Kuufi[9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para sahabat Radhiyallahu anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang suatu kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air, yaitu Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya, tidak masuk ke dalam hati mereka)”[10].

PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.

Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H),[11] ia merupakan salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lantaran ketekunannya dalam ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”[12]

Muhammad bin Sirin al-Bashri (wafat tahun 110 H),[13] ia seorang imam besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang yang tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang beliau: “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun melihatnya, kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]

Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H),[15] ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tsabit bin Aslam sangat tekun beribadah, bahkan ia disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah pada masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu anhu memujinya dengan mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu kebaikan”.[16]

Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]

'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi (wafat tahun 181 H),[18] ia seorang imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Pensifatan terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau terkumpul semua sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memujinya dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para sahabat Radhiyallahu anhum dengan sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak, maka aku tidak melihat para sahabat Radhiyallahu anhum melebihi keutamaannya, kecuali karena para sahabat Radhiyallahu anhum menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjihad bersamanya".[19]

Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki ilmu dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Pada dirinya terkumpul (semua) sifat-sifat baik”.

Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203), dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab Sunan Abi Dawud.

Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal, beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin al-Jarrah; selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru utama Sufyan ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i, ialah termasuk guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah bin Qais an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i dan termasuk murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliaulah yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan lain-lain.

Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian ‘Alqamah diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam petunjuk dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah lakunya.

Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh.

NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan mereka dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, maka kita yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan “orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena kalau bukan kita – terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu siapa lagi?!

Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb al-Baghdadi[20] tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu hadits (berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. [al-Ahzâb/33:21].

Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri: “Dahulu, jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.

Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang penuntut ilmu tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam hari?!”

Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini; yang kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?

Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha melatih diri mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , agar kita diberi kemudahan dalam menempuh manhaj yang lurus ini.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus ini sampai akhir hayat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus-Sunnah yang mengukuti petunjuk mereka.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/432.
[3]. Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama Islam, yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang batil (salah). Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Igâtsatul-Lahafân, hlm. 40 –Mawâridul-Amân.
[4]. Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan mendahulukannya daripada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ibid.
[5]. Kerusahan dalam ilmu dan pemahaman.
[6]. Kerusakan dalam amal.
[7]. Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftahu Dâris-Sa’âdah, 1/40.
[8]. HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42 dan 43) dan al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia al ‘Irbaadh bin Saariyah Radhiyallahu anhu. Riwayat ini dinyatakan shahîh oleh at- Tirmidzi, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi, begitu pula Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 937).
[9]. Beliau ialah seorang Tabi’in senior yang terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti halnya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasâ`i, dan lain-lain. Beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau 74 H. Biogarafi beliau terdapat di dalam kitab Tahdzîbul-Kamala (14/408), Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/267), dan Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250).
[10]. Atsar ini dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/269). Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama ‘Atha` bin as-Saaib al-Kuufi. Ibnu Hajar di dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250) berkata tentang perawi ini: “Dia adalah seorang yang sangat jujur, akan tetapi (hafalannya) tercampur”.
Meskipun demikian, perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini ialah Hammâd bin Zaid al-Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin al-Madîni dan al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdzîbul-Kamâl, 7/185). Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan tetapi Sulaiman bin Mihraan al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah, sedangkan ia seorang mudallis.
[11]. Biografi beliau dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/70) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258).
[12]. Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258), juga dinukil oleh al-Mîzi dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hal. 157).
[13]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (25/344) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/606).
[14]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/610). Sifat beliau ini menunjukkan bahwa beliau ialah wali (kekasih) Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wali (kekasih) Allah ialah seseorang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah”. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12325), Dhiya’uddin al-Maqdisi dalam al-Ahâditsul-Mukhtârah (2/212), dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling menguatkan.
[15]. Biografi beliau terdapat dalam Tahdzibul-Kamal (4/342) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (5/220).
[16]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no 35679). Semua perawinya terpercaya kecuali Zaid bin Dirham al-Bashri; tidak ada seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali Ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqât (4/247).
[17]. HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah (no. 251). Dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain yang saling menguatkan.
[18]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (16/5) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/378).
[19]. Lihat Tahdzibul-Kamal (16/16) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/390).
[20]. Lihat kitab beliau, al-Jâmi’ li Akhlâqir-Râwi wa Âdâbis-Sâmi’ (1/215).

Dermawan dan Murah hati

ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة
Dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu) (QS Al-Hasyr 9)


    A'isyah berkata, bahwa RasuluLloh SAWW bersabda :
السخي قريب من الله تعالى قريب من الناس قريب من الجنة. والبخيل بعيد من الله, بعيد من الناس, بعيد من الجة, قريب من النار. والجاهل السخي أحب الى الله تعالى من العابد البخيل
    Orang yang murah hati dekat dengan Alloh, dekat dengan manusia, dekat dengan surga dan jauh dari neraka. Orang yang bakhil jauh dari Alloh, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang murah hati lebih disukai Alloh daripada orang ahli ibadah yang bakhil.
    Syaikh Abu Ali Ad Daqaq berkata, "Tiada perbedaan bagi lidah ilmu antara kedermawanan dan murah hati. Al-Haqq tidak disifati dengan kedermawanan karena ketiadaan pemberhentian. Hakikat kedermawanan adalah ketiadaan pemberian yang memberatkan hati.
    Murah hati bagi suatu kaum menempati tingkatan yang pertama kemudian tingkatan dermawan dan akhirnya tingkatan pengutamaan.


    Orang yang memberikan sesuatu kepada sebagian manusia dan menyisakan sebagian, maka dia adalah orang yang murah hati. Orang yang memberikan sebagian besar miliknya dan menyisakan sedikit untuk dirinya maka dia adalah orang yang dermawan. Orang yang siap menahan panas penderitaan demi untuk mengutamakan orang lain dengan penganugerahan total, maka dia adalah orang yang memiliki keutamaan.
    Syaikh Abu Ali Ad Daqaq menyampaikan ucapan Asma' bin Kharijah, seorang tabi'in dari Kuffah, "Saya tidak suka memenuhi kehendak seseorang dari tuntutan hajatnya, karena jika dia mulia maka saya akan menjaga kehormatannya, dan jika dia hina, maka saya menjaga kehormatan saya".
    Dikatakan bahwa Mauriq Al-Ajali sangat halus dalam memasukkan kelembutan kasih sayangnya pada kawan-kawannya. Suatu hari dia meletakkan seribu dirham pada kantong mereka."Peganglah uang ini sampai saya kembali".Pesannya. Dia pergi dan tidak lama kemudian ia mengirim seorang untuk menyampaikan pesan, "Engkau halal memakai uang itu".
Seorang pria dari Manbaj (suatu wilayah dibawah kekuasaan pemerintah Syiria) berjumpa dengan seorang pria dari penduduk Madinah.
"Dari penduduk mana lelaki itu ?" Tanya dia
"Dari Madinah".
"Telah berkunjung kepada kami seorang pria dari kaummu yang dikenal dengan panggilan Hakim bin Muthalib. Dia memberi kekayaan kepada kami".
"Bagaimana mungkin, saya tidak pernah datang kepadamu melainkan hanya dengan pakaian jubah sufi".
"Dia tidak memberi kekayaan kepada kami dengan harta, tetapi mengajari kami kemuliaan, sehingga masyarakat kami kembali saling berbuat memberi kekayaan".
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita, "Ketika seorang pelayan Khalil menuduh kaum sufi menjalankan ajaran sesat, maka khalifah memerintahkan algojo untuk menangkap dan menghukum mereka dengan hukuman pancung. Sementara Imam Al-Junaid selamat dari tuduhan tersebut karena tertutupi dengan ajaran fikih. Beliau mengajarkan faham mazhab Abu Tsaur, sedangkan yang lainnya seperti Asy-Syahham, An-Nuuri dan beberapa sufi yang lain telah ditangkap dan dibawa ke hadapan algojo. Ketika eksekusi hendak dijalankan, An-Nuuri minta untuk didahulukan. Seorang pemimpin algojo menjadi heran.
"Sadarkah engkau, ketempat mana engkau minta disegerakan ?" tanyanya kemudian.
"Ya"
"Apa yang membuatmu ingin didahulukan ?"
"Saya ingin mengutamakan kehidupan sesaat kepada kawan-kawanku".An-Nuuri berkata sambiil memasrahkan lehernya untuk segera dipancung.
Algojo itu bingung. Dia tidak bisa mengambil keputusan dan untuk melakukan eksekusi sebagimana yang diperintahkan. Akhlak lelaki yang hendak dipancungnya begitu menawan hatinya. Dia berusaha menyembunyikan berita ini jangan sampai terdengar oleh khalifah, karena itu untuk mengetahui keadan sebenarnya para tawanan itu, maka dia mengembalikan mereka kepada seorang hakim. Hakim yang ditunjuk untuk menangani kasus itupun datang, menemui mereka. Dia mendekati Ali Abu Hasan An-Nuuri lalau menanyakan beberapa masalah fikih dan dijawabnya dengan benar.
"Sesungguhnya Alloh Adalah Zat Yang Disembah. Jika mereka (kaum sufi) menegakkan, maka mereka menegakkan dengan Alloh, jika mereka berbicara, mereka berbicara dengan Alloh". Jelas An-nuuri. Dia kemudian berdiri dan berjalan sambil bibirnya melantunkan syair-syair ketuhanan sehingga mengucurkan airmata sang hakim. Maka sang hakim itu segera mengirim surat kepada khalifah dan mengatakan, "Jika mereka orang-orang (orang sufi) itu kafir, maka apakah akan ada di permukaan bumi ini seorang yang muslim ?"
Dikatakan, bahwa Ali bin Fudhail jika jika membeli sesuatu, dia melakukannya dari serambi pasar. Seseorang menyarankannya, "Kalau tuan masuk pasar, tentu akan diberi harga murah." Dia menjawab, "Mereka dekat dengan saya karena mengharapkan manfat dari saya". Diceritakan, ada seseorang diutus untuk mendatangi sekumpulan pelayan. Lelaki yang mengutusnya itu sedang duduk bersama kawan-kawannya. Dia mengatakan, "Sangat buruk jika saya menjadikan pelayan itu hanya untuk saya, sementara kalian hadir. Saya tidak senang mengkhususkan pelayanan hanya pada seseorang. Kalian semua punya hak dan penghormatan." Orang-orang yang hadir berjumlah delapan puluh orang, dan setiap seorang didampingi seorang pelayan.
Ubaidilah bin Abi Bakrah pernah kehausan di dalam suatu perjalanan. Dia meminta minum pada seorang wanita yang sedang tinggal di rumahnya. Wanita itupun megeluarkan minuman lalu berjalan kearah pintu dan berdiri di baliknya.
"Menyingkirlah dan biarkan pelayanmu yang mengambilnya," pintanya dengan halus. "Saya adalah seorang wanita arab yang ditinggal mati pelayan saya dalam beberapa hari."
Ubaidilah menuruti permintaan wanita itu. Dia pulang dan tidak lama kemudian pelayan UbaidiLlah datang sambil menyodorkan minuman yang diberikan wanita tadi.
"berikanlah 10.000 dirham ini kepadanya". Pesan Ubaidilah kepada pelayannya setelah meminum air pemberiannya.
"SubhanaLloh, engkau menghina saya ?" Wanita itu marah yang ditujukan kepada Ubaidilah.
"Berikan kepadanya uang 20.000 dirham ini". Pesannya lagi.
"Saya hanya mohon keselamatan pada Alloh."
"Wahai pelayan, bawalah uang 30.000 dirham ini kepadanya." Kata Ubaidilah.
Sebelum pelayan Ubaidilah tiba di pintu, wanita itu telah menutupnya. Dari dalam dia mengumpat, "Celakalah kamu !"
Akan tetapi pelayan itu tidak kehilangan akal. Dia meletakkan uang itu di depan pintu dan ditinggalnya pergi. Wanita itu mengambil dan menyimpannya. Dia tidak pernah menyentuhnya sampai banyak orang yang mengambilnya.
Diaktakan bahwa kedermawanan adalah pemenuhan bisikan hati yang pertama.
Dikatakan pada Qais bin Sa'ad bin Ubadah." Apakah engkau pernah melihat seseorang yang lebih murah hati daripada anda ?"
"Ya, ketika saya turun ke desa," Jawabnya. "Saya bertemu pada seorang wanita, lalu suaminya datang. Isteri itu berkata kepada suaminya, "Engkau kedatangan seorang tamu."
Maka lelaki itu keluar mengambil seekor unta dan menyembelihnya. Esok hari, datang tamu yang lain, dan keduanya melayaninya sebagaimana hari kemarin. Saya heran melihat sikapnya yang aneh itu. 'Tuan', sapa saya kepadanya. 'Saya belum makan apa yang tuan sembelih kemarin melainkan hanya sedikit. Saya pikir tuan tak perlu memotong unta lagi.' Dia menjawab, 'Saya tidak akan memberi makan tamu-tamu saya dengan makanan yang sudah menginap satu malam.' Saya tinggal di rumahnya selama dua atau tiga hari, sementara langit masih mencurahkan hujan dan dia tetap memperlakukan tamu-tamnya seperti itu. Ketika saya hendak berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, saya meletakkan uang 100 dinar di rumahnya tanpa sepengetahuannya. 'Terimakasih dan maafkan segala kesalahan saya. Saya hendak melanjutkan perjalanan,' Kata saya kepada tuan rumah, kemudian sayapun berangkat. Ketika matahari telah naik setingi beberapa tombak, tiba-tiab saya dikejutkan oleh suara lelaki yang berteriak-teriak di belakang saya. 'Berhentilah hai musafir hina ! Engkau telah memberiku harga pelayananku pada tamu-tamuku !' Dia berkata dengan nada sengit. Dia tetap mengejarku sampai kudanya sejajar denganku dan kemudian menghadang di depanku. 'Ambil uang itu'. Katanya memerintah. 'Jika tidak, maka engkau akan saya tikam dengan pisau ini'.
Sayapun mengambil dan berpaling melanjutkan perjalanan sambil mendendangkan syair :

Jika saya mengambil pahala
Yang telah saya berikan padanya
Maka cukup dengan demikian
Bagi orang yang memperkeruh

 
Ahmad bin Atha Ar-Ruzabari masuk rumah salah seorang sahabatnya. Namun dia tidak menemukan tuan rumah. Penghuninya pergi sementara pintunya tertutup. Dai berfikir, tuan rumah ini mengaku orang sufi, tetapi mengapa pintu rumahnya tertutup.
"dobrak dan pecahkan pintunya." Perintahnya.
Kemudian dia bersama muridnya mengumpulkan semua yang ada di dalam rumah , kemudian membawanya ke pasar dan menjualnya. Lalu dia dan muridnya kembali ke rumah itu dan tinggal di dalam rumah tersebut. Ketika pemilik rumah tiba, dia tidak berkata apa-apa selain diam, kemudian menyusul isterinya. Dai masuk rumah dengan mengenakan baju yang bagus. Baju itu kemudian dilepaskan sambil berkata, "wahai orang-orang yang tinggal di dalam rumah, baju ini juga termasuk harta benda yang harus disingkirkan, maka juallah".
"Mengapa engkau memberatkan dirimu dengan pilihanmu ini, "tegur suaminya.
"Diamlah, seperti inilah, syaikh ini telah menyadarkan kita dan menghukum kita. Masih ada milik kita yang harus kita hinakan."
Suami isteri itu diam menekuri hidupnya.
Bisyr bin Harits mengatakan, "Memandang pada orang yang bakhil dapat mengeraskan hati." Dikatakan ketika Qais bin Sa'id bin Ubadah sakit, maka teman-temannya menangguhkan untuk hadir. Mereka sengaja memperlambat kunjungan. Qais menanyakan tentang mereka lalu dijelaskan, "Mereka merasa malu tentang hutang mereka yang belum dibayarkan kepadamu".
"Semoga Alloh menghinakan harta yang mencegah kawanku mengunjungi saya".
Kemudian Sa'id memanggil seseorang untuk mengumumkan pesannya yang berbunyi : Barang siapa mepunyai tanggungan utang kepada Qais, maka dia telah menghalalkannya. Semenjak pengumuman itu, banyak pengunjung yang datang.
Dikatakan pada AbduLlah bin Ja'far, "Engkau memberikan yang banyak jika diminta, dan bakhil dengan yang sedikit jika dicegah".
AbduLlah kemudian meluruskannya, "Sesungghnya saya memberikan hartaku dan bakhil dengan akalku".
Dikisahkan bahwa AbduLlah bin Ja'far keluar dan menuju ke pekarangan. Dia turun dari kudanya lalu memasuki kebun seorang tuan tanah. Di dalam kebun itu terdapat seorang budak hitam yang usianya masih remaja. Budak itu bekerja dengan giat seolah-olah tidak mengenal lelah. Ketika waktu makan tiba, seorang suruhan tuannya membawakan makanan kepadanya lalu pulang. Belum sampai ia menyentuh makanan, ada seekor anjing liar masuk kebun dan mendekati budak itu. Budak itu memandangnya sejenak lalu melemparkan makanan itu kepada anjing dan anjing pun segera melahapnya. Dai melempar lagi dan terus melempar hingga jatah makannya habis dimakan anjing. AbduLlah memperhatikan dengan seksama, kemudian dia mendekati budak itu.
"Wahai anak muda, berapa kali sehari engkau dikirimi makanan oleh tuanmu ?" tanya AbduLlah.
"Apa yang ingin engkau lihat ?"
"Mengapa engkau mengutamakan anjing ini ?"
"Ini memang bukan bumi anjing, akan tetapi dia datang dari tempat yang sangat jauh. Dai tentu sangat lapar,dan saya tidak suka menolaknya".
"Apakah engkau melakukannya setiap hari ?"
"Saya kosongkan perutku dan melipatnya pada hari ini". Budak itu bermaksud mengatakan bahwa ia sangat lapar.
"Betapa dermawannya budak ini, dia lebih dermawan dari pada saya". Kata AbduLlah dalam hati. Dia kemudian pergi menuju majikan budak itu, membeli kebun beserta budaknya dan peralatan di dalamnya, lalu memerdekakan budak tersebut sekaligus memberikan kebun itu kepadanya.
Diceritakan ada seorang pria mendatangi kawannya lalu megetuk pintunya dan tuan rumah pun keluar seraya bertanya, "Untuk apa engkau mendatangiku ?"
"Untuk 400 dirham yang engkau hutangkan kepadaku".
Tuan rumahpun kemudian masuk, mengambil uang sejumlah yang dibutuhkan tamunya, dan memberikan kepadanya. Setelah tamunya pulang, dai menangis. Isterinya heran melihat sikap suaminya.
"Apakah engkau merasa keberatan dengan memenuhi permintaan tamu itu " tanya isterinya.
"Saya menangis sampai tidak mengetahui keadaannya sehingga dia datang untuk mengutarakan hajatnya kepada saya".
Mutarrif bin Asy-Syakhir berkata, "Jika salah seorang dari kalian membutuhkan sesuatu kepada saya, maka sampaikanlah secara tertulis. Karena saya tidak suka melihat hinanya kebutuhan di wajahnya."
AbduLlah bin Abbas adalah seorang ulama sufi terkenal dizamannya. Seseorang bermaksud menjebaknya dalam permainan kotornya, maka orang itu mendatangi tokoh-tokoh masyarakat sambil meninggalkan pesan, "AbduLlah bin Abbas mengundang kalian pada acara jamuan makan besok pagi." Orang-orang pun akhirnya datang dan memenuhi ruangan AbduLlah.
"Ada apa ini."? Tanya AbduLlah heran melihat para tamu yang tidak diundang ikut memenuhi rumahnya.
Kemudian seseorang dari mereka menceritakan, tentang undangan yang disebarkan kemarin. AbduLlah diam. Dia tidak berkata apa-apa selain segera memerintahkan para pelayannya untuk pergi membeli buah-buahan, roti, daging, dan meminta mereka untuk memasaknya dengan baik. Setelah acara selesai, dia bertanya kepada wakil para undangan,"Apakah acara ini harus kami adakan setiap hari ?"
"Ya" jawab mereka.
"Kalau begitu datanglah kalian tiap hari mulai besok." Pesannya
Ustadz Sahal Ash-Sha'luki ketika datang berwudhu di halaman rumahnya, ada seorang pengemis datang meminta sesuatu dan dia tidak segera mengabulkan permintaannya.
"Sabarlah sebentar sampai saya menyelesaikan wudhu." Katanya pelan.
Pengemis itupun sabar menunggu.
Ambil bejana dan keluarlah," kata ustadz.
Dia mengambil dan membawanya pergi. Setelah tahu bahwa pengemis itu telah jauh, Abu Sahal berteriak, "Seseorang telah masuk halaman rumah dan mengambil bejana tempat wudhu."Orang-orang yang mendengar segera mencari orang yang dituduh mencuri bejana dan mereka tidak menemukannya. Abu Sahal melakukan demikian karena tahu bahwa penghuni rumah seringkali memakinya akibat sikapnya yang berlebihan dalam memberi.
Ustadz Abu Sahal memberikan jubah musim dinginnya kepada seseorang. Kemudian dia pergi mengajar dengan memakai jubah wanita karena memang tidak ada jubah lain selain yang dipakainya. Tidak beberapa lama, datanglah beberapa utusan kenegaran dari persia yang diantara mereka terdapat beberapa tokoh ulama dari berbagai kalangan. Diantra mereka adalah ulama fikih, ulama ahli teologi, dan ulama ahli bahasa. Abul Hasan, si pemmpin rombongan menyodorkan surat yang isinya meminta ustadz untuk menghadap ulama pemerintah. Ustadz kemudian masuk ke dalam lalu kemudian keluar dengan memakai baju besi yang melapisi jubah wanitanya lalu berangkat. Begitu tiba di tempat tujuan, sang imam menyindir,"Dia sebenarnya sengaja menganggap enteng kami, seorang imam negara, dengan memakai baju besi yang dilapsisi jubah wanita." Kemudian diskusi kenegaraan pun dimulai. Mereka membahas berbagai masalah hukum. Masing-masing ulama saling melemparkan pendapat dengan argumen yang berbeda. Tetapi, tidak satupun pendapat yang bisa menandingi pendapat sang ustadz. Pendapat ustaz mengungguli semua disiplin ilmu yang dikuasai para ulama yang hadir dalam diskusi tersebut.
Syaikh AbduRrahman As-Sulami berkata, "Ustaz Abu Sahal tidak pernah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan tangannya selain melemparkannya terlebih dahulu ke tanah supaya seseorang yang membutuhkannya mengambilnya sendiri. Ketika ditanya dia menjawab,"Dunia lebih sedikit menkhawatirkan saya daripada yang saya lihat pada keagungan tangan di atas daripada tangan di bawah. RasuluLloh SAWW bersabda :
اليد العليا خير من اليد السفلى
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Abu Murtsid adalah seorang dermawan yang mulia, pernah mendapat pujian dari seorang penyair. Ketika pujian itu diperdengarkan di hadapannya, dia berkata," Saya tidak mempunyai sesuatu yang dapat saya berikan kepada tuan. Akan tetapi tuan bisa mengajukan saya di hadapan hakim dengan tuduhan mencuri uang tuan sebesar 100.000 dirham. Saya akan mengakui tuduhan itu. Dengan demikian hakim akan memenjarakan saya dan tentunya keluarga saya tidak membiarkan saya dipenjara. Mereka akan menebus saya dengan memberikan uang ganti rugi kepada tuan,"
Penyair itu benar-benar melakukan saran Abu Murtsid. Dia akhirnya dipenjara, kemudian dikeluarkan setelah keluarganya memberikan ganti rugi kepada penyair. Abu Murtsid selamat dair penjara dan si penyair mendapat uang 100.000 dirham.
Diceritakan bahwa seseorang meminta sesuatu kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, lalu beliau memberinya 50.000 dirham dan 500 dinar sambil memberikan pesan,"Bawalah seorang pelayan yang akan meembawakan barang-barang ini untuk anda". Kemudian dia datang dengan ditemani seorang pelayan dan Hasan memberikan jubbah hijaunya kepada pelayan sambil berkata, "Untuk ongkos pelayan biar saya yang menanggung".
Dikisahkan tentang seorang wanita yang meminta semangkok madu kepada Al-Laits bin Sa'ad. Lalu dikirimkan kepadanya sekantong besar yang penuh dengan madu. Pelayannya mengingatkan, "Dia hanya meminta semangkok madu."
"Benar, dia meminta sebatas kebutuhannya, dan saya memberi sebatas kepuasan saya."
Ada seorang ulama melakukan shalat di masjid Asy'ats di Kufah. Dia memohon kepada Alloh supaya diberi kemampuan membayar hutang. Setelah salam, dia menemukan sepasang sandal dan sepotong baju baru di depannya.
"Apa ini ?" tanyanya kepada seseorang.
"Al-Asy'ats baru tiba dari Makkah dan beliau memerintahkan kepada beberapa muridnya untuk membagikan barang ini kepada semua jama'ah masjidnya."
"Tetapi saya datang untuk memohon kepada Alloh supaya dibebaskan dari hutang, dan saya bukan termasuk jama'ahnya."
"Sedekah ini untuk semua yang hadir." Jelas mereka.
Diceritakan bahwa ketika kematian Imam Syafi'i hampir tiba, dia berpesan, "Datangkanlah seseorang yang akan memandikan jenasah saya." Pria yang dimaksud adalah orang asing. Lalu disampaikan kepadanya pesan sang imam. Lelaki itu tidak mengerti maksudnya, dan diminta untuk mengingat sesuatu, dan akhirnya menemukan bahwa dia mempunyai hutang 70.000 dirham. Imam Syafi'i meminta pelayannya untuk memberikan uang sejumlah itu kepada pria tersebut. "Inilah mandi jenazah saya". Kata sang imam.
Diceritakkan juga ketika Imam Syafi'i tiba di Makkah dari kota San'a, dia membawa uang 10.000 dinar.
"Apakah tuan hendak membeli budak ?" taya seseorang
Dia langsung merobohkan kemahnya dan keluar ke pinggiran kota Makkah. Uang yang dibawanya dituangkannya ke tanah dan kepada seriap orang yang datang dia memberinya segenggam uang. Ketika waktu zuhur tiba, dia berdiri lalu menepuk bajunya dan tidak satupun uang yang tersisa di dalamnya.
diceritakan, pada saat hari lebaran, Sary As-Saqthi keluar rumah. Kemudian seorang tokoh masyarakat menerima kunjungannya. Dia menyambutnya dengan hormat, tetapi As-Saqhty membalasnya dengan biasa. Bahkan dia membalas salamnya kurang lengkap.
"Dia seorang pembesar."Seseorang mencoba mengingatkan.
"Saya tahu".
"Tetapi mengapa ?"
Lalu dijawab, "Seorang perawi mengatakan,' jika dua orang islam bertemu maka 100 rahmat dibagi diantara keduanya. Yang 90 bagian bagi untuk mereka yang lebih murah senyum, dan saya ingin dia memperoleh yang lebih banyak.'"
Dikisahkan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib pada suatu hari menangis, lalu ditanyakan kapadanya,"Apakah yang membuat tuan menangis ?"
"Semenjak seminggu saya tidak kedatangan tamu. Saya takut Aloh menghinakan saya". Jawabnya
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, "Zakat rumah adalah penggunaannya untuk menerima tamu".
Mengenai ayat yang berbunyi :
هَلْ أَتَاكْ حَدِيْثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيْمَ الْمُكْرَمِيْنَ
Sudahkah sampai kepadamu cerita tentang tamu Ibrahim (para malaikat) yang dimuliakan ? (QS Adz-Dzariyat 24)
Menurut seorang mufasir pengertiannya adalah pelayanannya kepada mereka dengan dirinya sendiri.
Ibrahim bin Al-Junaid berkata, "Empat hal yang tidak boleh dipandang rendah meski dia seorang amir atau penguasa : berdiri dari majlis untuk menyambut orang tua, melayani tamu, melayani guru yang telah mengajarinya, dan bertanya tentang sesuatu yang belum diketahui."
Alloh SWT berfirman :

ليس عليكم جناح أنتأكلواجميْعاأوأشتاتاً
Tidak ada halangan bagimu untuk makan bersama mereka atau sendirian.
Menurut Ibnu abbas, RA ayat tersebut mengandung pengertian ketidak bolehan seseoarng makan dengan sendirian, lalu mereka diberi keringanan.
Diceritakan bahwa AbduLlah bin Amir bin Kariz menjamu seorang pria dengan jamuan terbaik. Ketika tamu itu hendak melanjutkan perjalanan, para pelayannya tidak membebaskannya. Lalu hal itu dilaporkan kepadanya, dan AbduLlah menjawab, "Sesungguhnya mereka bermaksud menahannya untuk tidak melanjutkan perjalanan dari kami".
AbduLlah bin Bakuwaih mendengarkan syair Al-Muttanabi berkaitan dengan hal di atas :

Jika engkau pergi dari kami
Sungguh mereka kuasa
Untuk tidak berpisah dengan mereka
Maka pergi adalah lebih penting.
  
AbduLlah bin Mubarak berkata, "bermurah hati dari apa yang ada di tangan manusia (tidak tertarik atau iri) adalah lebih utama daripada bermurah hati dengan memberi.
Seorang sufi berkata, "saya masuk rumah Bisyr bin Harits pada hari yang sangat dingin. Dia melepaskan pakaiannya sehingga tubuhnya tampak menggigil kedinginan. "Hai Abu Nashr" sapa saya." Orang-orang pada musim dingin memakai pakaian rangkap tetapi engkau malah menguranginya."
Dia menjawab, "Saya mengingat orang-orang fakir yang tidak seperti mereka, sementara saya tidak memiliki sesuatu untuk diberikan kepada mereka selain dengan seperti ini. Karena itu saya berusaha memenuhi hak mereka dengan tebusan diri saya yang saya biarkan kedinginan".