Manhaj Salaf,[1] merupakan satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan
agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, jaminan
mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla hanya diberikan kepada para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang
mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan). Dinyatakan dalam
firman Allah Azza wa Jalla :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu
anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
[at-Taubah/9:100].
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyebutkan jaminan keridhaan-Nya
bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu
anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan).
Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam
memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan),
ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi
lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat
Radhiyallahu anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini
secara menyeluruh.
Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang
yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang yang mengikuti
jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji,
serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun
terang-terangan”.[2]
MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj salaf.
Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan
pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj ini,
ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan terhindar
dari segala bentuk syubhat,[3] sekaligus terbimbing dalam pengamalan
ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat (hawa nafsu,
Red.).[4]
Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam firman-Nya:
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ
Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam
ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal). [an-Najm/53:2].
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan petunjuk yang
dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua kerusakan.
Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan),[5] dan al-ghawâyah/al-ghayy
(penyimpangan).[6] Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu
al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan
dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah seorang
yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.[7]
Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa
al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan
kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam).
Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan
petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para
sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin. Artinya para
khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari
al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan dalam ilmu dan
pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan, seseorang yang
benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn dan termasuk pula
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan,
maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan
mengamalkan agama Islam ini.
Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan
at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak hanya
mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara
mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.
Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami
al-Kuufi[9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para
sahabat Radhiyallahu anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa
dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah
ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami
kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân
sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang suatu
kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air, yaitu
Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya, tidak masuk
ke dalam hati mereka)”[10].
PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai
orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga
orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.
Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H),[11] ia merupakan
salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya
dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang mulia
'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lantaran ketekunannya dalam
ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan
mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat orang-orang yang
selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”[12]
Muhammad bin Sirin al-Bashri (wafat tahun 110 H),[13] ia seorang imam
besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan
hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang
sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang yang
tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang beliau:
“Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun melihatnya,
kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]
Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H),[15]
ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam
meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior sahabat yang mulia, Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tsabit bin Aslam sangat tekun beribadah,
bahkan ia disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah pada
masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu anhu memujinya dengan
mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu
kebaikan”.[16]
Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengisyaratkan kepada
hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada
pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]
'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi (wafat tahun 181 H),[18] ia seorang
imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in)
yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Pensifatan
terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau terkumpul semua
sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memujinya
dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para
sahabat Radhiyallahu anhum dengan sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak,
maka aku tidak melihat para sahabat Radhiyallahu anhum melebihi
keutamaannya, kecuali karena para sahabat Radhiyallahu anhum menyertai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjihad bersamanya".[19]
Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia
berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang
terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki ilmu
dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Pada dirinya terkumpul (semua)
sifat-sifat baik”.
Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang
disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh
Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203),
dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab
Sunan Abi Dawud.
Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam
mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal,
beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah
ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin al-Jarrah;
selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru utama Sufyan
ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i, ialah termasuk
guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah bin Qais
an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i dan termasuk
murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliaulah yang
langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab
hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan lain-lain.
Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar tersebut
disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk
dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian ‘Alqamah
diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam petunjuk
dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud, beliau
diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah
lakunya.
Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam
menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara
teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan
tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud
dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari
guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh.
NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan terbesar
yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan mereka
dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, maka kita
yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk
mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan
“orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan
mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena kalau bukan kita –
terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat
mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu siapa lagi?!
Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb
al-Baghdadi[20] tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh
para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu hadits
(berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan orang-orang
awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha)
mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal
mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. [al-Ahzâb/33:21].
Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari
ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri: “Dahulu, jika
seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat
(pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah),
tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.
Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu
yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk
berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut
dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka
beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang penuntut ilmu
tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam hari?!”
Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini; yang
kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi
sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?
Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk
lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha melatih diri
mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala , agar kita diberi kemudahan dalam menempuh manhaj
yang lurus ini.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala , semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya
kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan
diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus ini sampai akhir
hayat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus-Sunnah yang mengukuti
petunjuk mereka.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/432.
[3]. Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama Islam,
yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang
batil (salah). Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitabnya
Igâtsatul-Lahafân, hlm. 40 –Mawâridul-Amân.
[4]. Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan
mendahulukannya daripada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ibid.
[5]. Kerusahan dalam ilmu dan pemahaman.
[6]. Kerusakan dalam amal.
[7]. Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftahu Dâris-Sa’âdah, 1/40.
[8]. HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42
dan 43) dan al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia
al ‘Irbaadh bin Saariyah Radhiyallahu anhu. Riwayat ini dinyatakan
shahîh oleh at- Tirmidzi, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi,
begitu pula Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 937).
[9]. Beliau ialah seorang Tabi’in senior yang terpercaya dan teliti
dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits
dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti halnya al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, an-Nasâ`i, dan lain-lain. Beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau
74 H. Biogarafi beliau terdapat di dalam kitab Tahdzîbul-Kamala
(14/408), Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/267), dan Taqrîbut-Tahdzîb (hlm.
250).
[10]. Atsar ini dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin
Nubalâ` (4/269). Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama
‘Atha` bin as-Saaib al-Kuufi. Ibnu Hajar di dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb
(hlm. 250) berkata tentang perawi ini: “Dia adalah seorang yang sangat
jujur, akan tetapi (hafalannya) tercampur”.
Meskipun demikian, perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini
ialah Hammâd bin Zaid al-Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum
hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin al-Madîni dan
al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdzîbul-Kamâl, 7/185). Riwayat ini juga
dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia 'Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam
Tafsir-nya (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan
tetapi Sulaiman bin Mihraan al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah,
sedangkan ia seorang mudallis.
[11]. Biografi beliau dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/70) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258).
[12]. Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258), juga dinukil oleh al-Mîzi dalam
Tahdzîbul-Kamâl (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hal.
157).
[13]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (25/344) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/606).
[14]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/610). Sifat beliau ini menunjukkan
bahwa beliau ialah wali (kekasih) Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wali (kekasih) Allah
ialah seseorang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat
kepada Allah”. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12325),
Dhiya’uddin al-Maqdisi dalam al-Ahâditsul-Mukhtârah (2/212), dan
lain-lain. Hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh al-Albani dalam
ash-Shahîhah (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling
menguatkan.
[15]. Biografi beliau terdapat dalam Tahdzibul-Kamal (4/342) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (5/220).
[16]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no 35679). Semua
perawinya terpercaya kecuali Zaid bin Dirham al-Bashri; tidak ada
seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali
Ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqât (4/247).
[17]. HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah
(no. 251). Dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh al-Albâni dalam
ash-Shahîhah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain
yang saling menguatkan.
[18]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (16/5) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/378).
[19]. Lihat Tahdzibul-Kamal (16/16) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/390).
[20]. Lihat kitab beliau, al-Jâmi’ li Akhlâqir-Râwi wa Âdâbis-Sâmi’ (1/215).
Minggu, 24 November 2013
Dermawan dan Murah hati
ويؤثرون
على أنفسهم ولو كان
بهم خصاصة
Dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan orang-orang Muhajirin
atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu) (QS Al-Hasyr 9)
A'isyah berkata,
bahwa RasuluLloh SAWW bersabda :
السخي قريب من الله
تعالى قريب من الناس
قريب من الجنة. والبخيل
بعيد من الله, بعيد
من الناس, بعيد من
الجة, قريب من النار.
والجاهل السخي أحب الى
الله تعالى من العابد
البخيل
Orang yang murah
hati dekat dengan Alloh, dekat dengan manusia, dekat dengan surga dan jauh dari
neraka. Orang yang bakhil jauh dari Alloh, jauh dari manusia, jauh dari surga
dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang murah hati lebih disukai Alloh daripada
orang ahli ibadah yang bakhil.
Syaikh Abu Ali Ad
Daqaq berkata, "Tiada perbedaan bagi lidah ilmu antara kedermawanan dan
murah hati. Al-Haqq tidak disifati dengan kedermawanan karena ketiadaan
pemberhentian. Hakikat kedermawanan adalah ketiadaan pemberian yang memberatkan
hati.
Murah hati bagi
suatu kaum menempati tingkatan yang pertama kemudian tingkatan dermawan dan
akhirnya tingkatan pengutamaan.
Orang yang
memberikan sesuatu kepada sebagian manusia dan menyisakan sebagian, maka dia adalah
orang yang murah hati. Orang yang memberikan sebagian besar miliknya dan
menyisakan sedikit untuk dirinya maka dia adalah orang yang dermawan. Orang
yang siap menahan panas penderitaan demi untuk mengutamakan orang lain dengan
penganugerahan total, maka dia adalah orang yang memiliki keutamaan.
Syaikh Abu Ali Ad
Daqaq menyampaikan ucapan Asma' bin Kharijah, seorang tabi'in dari Kuffah,
"Saya tidak suka memenuhi kehendak seseorang dari tuntutan hajatnya,
karena jika dia mulia maka saya akan menjaga kehormatannya, dan jika dia hina,
maka saya menjaga kehormatan saya".
Dikatakan bahwa
Mauriq Al-Ajali sangat halus dalam memasukkan kelembutan kasih sayangnya pada
kawan-kawannya. Suatu hari dia meletakkan seribu dirham pada kantong
mereka."Peganglah uang ini sampai saya kembali".Pesannya. Dia pergi
dan tidak lama kemudian ia mengirim seorang untuk menyampaikan pesan,
"Engkau halal memakai uang itu".
Seorang pria dari Manbaj (suatu wilayah dibawah kekuasaan
pemerintah Syiria) berjumpa dengan seorang pria dari penduduk Madinah.
"Dari penduduk mana lelaki itu ?" Tanya dia
"Dari Madinah".
"Telah berkunjung kepada kami seorang pria dari kaummu
yang dikenal dengan panggilan Hakim bin Muthalib. Dia memberi kekayaan kepada
kami".
"Bagaimana mungkin, saya tidak pernah datang kepadamu
melainkan hanya dengan pakaian jubah sufi".
"Dia tidak memberi kekayaan kepada kami dengan harta,
tetapi mengajari kami kemuliaan, sehingga masyarakat kami kembali saling
berbuat memberi kekayaan".
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq bercerita, "Ketika seorang
pelayan Khalil menuduh kaum sufi menjalankan ajaran sesat, maka khalifah
memerintahkan algojo untuk menangkap dan menghukum mereka dengan hukuman
pancung. Sementara Imam Al-Junaid selamat dari tuduhan tersebut karena
tertutupi dengan ajaran fikih. Beliau mengajarkan faham mazhab Abu Tsaur,
sedangkan yang lainnya seperti Asy-Syahham, An-Nuuri dan beberapa sufi yang
lain telah ditangkap dan dibawa ke hadapan algojo. Ketika eksekusi hendak
dijalankan, An-Nuuri minta untuk didahulukan. Seorang pemimpin algojo menjadi
heran.
"Sadarkah engkau, ketempat mana engkau minta
disegerakan ?" tanyanya kemudian.
"Ya"
"Apa yang membuatmu ingin didahulukan ?"
"Saya ingin mengutamakan kehidupan sesaat kepada
kawan-kawanku".An-Nuuri berkata sambiil memasrahkan lehernya untuk segera
dipancung.
Algojo itu bingung. Dia tidak bisa mengambil keputusan dan
untuk melakukan eksekusi sebagimana yang diperintahkan. Akhlak lelaki yang
hendak dipancungnya begitu menawan hatinya. Dia berusaha menyembunyikan berita
ini jangan sampai terdengar oleh khalifah, karena itu untuk mengetahui keadan
sebenarnya para tawanan itu, maka dia mengembalikan mereka kepada seorang
hakim. Hakim yang ditunjuk untuk menangani kasus itupun datang, menemui mereka.
Dia mendekati Ali Abu Hasan An-Nuuri lalau menanyakan beberapa masalah fikih
dan dijawabnya dengan benar.
"Sesungguhnya Alloh Adalah Zat Yang Disembah. Jika
mereka (kaum sufi) menegakkan, maka mereka menegakkan dengan Alloh, jika mereka
berbicara, mereka berbicara dengan Alloh". Jelas An-nuuri. Dia kemudian
berdiri dan berjalan sambil bibirnya melantunkan syair-syair ketuhanan sehingga
mengucurkan airmata sang hakim. Maka sang hakim itu segera mengirim surat
kepada khalifah dan mengatakan, "Jika mereka orang-orang (orang sufi) itu
kafir, maka apakah akan ada di permukaan bumi ini seorang yang muslim ?"
Dikatakan, bahwa Ali bin Fudhail jika jika membeli sesuatu,
dia melakukannya dari serambi pasar. Seseorang menyarankannya, "Kalau tuan
masuk pasar, tentu akan diberi harga murah." Dia menjawab, "Mereka
dekat dengan saya karena mengharapkan manfat dari saya". Diceritakan, ada
seseorang diutus untuk mendatangi sekumpulan pelayan. Lelaki yang mengutusnya
itu sedang duduk bersama kawan-kawannya. Dia mengatakan, "Sangat buruk
jika saya menjadikan pelayan itu hanya untuk saya, sementara kalian hadir. Saya
tidak senang mengkhususkan pelayanan hanya pada seseorang. Kalian semua punya
hak dan penghormatan." Orang-orang yang hadir berjumlah delapan puluh
orang, dan setiap seorang didampingi seorang pelayan.
Ubaidilah bin Abi Bakrah pernah kehausan di dalam suatu
perjalanan. Dia meminta minum pada seorang wanita yang sedang tinggal di
rumahnya. Wanita itupun megeluarkan minuman lalu berjalan kearah pintu dan
berdiri di baliknya.
"Menyingkirlah dan biarkan pelayanmu yang
mengambilnya," pintanya dengan halus. "Saya adalah seorang wanita
arab yang ditinggal mati pelayan saya dalam beberapa hari."
Ubaidilah menuruti permintaan wanita itu. Dia pulang dan
tidak lama kemudian pelayan UbaidiLlah datang sambil menyodorkan minuman yang
diberikan wanita tadi.
"berikanlah 10.000 dirham ini kepadanya". Pesan
Ubaidilah kepada pelayannya setelah meminum air pemberiannya.
"SubhanaLloh, engkau menghina saya ?" Wanita itu
marah yang ditujukan kepada Ubaidilah.
"Berikan kepadanya uang 20.000 dirham ini".
Pesannya lagi.
"Saya hanya mohon keselamatan pada Alloh."
"Wahai pelayan, bawalah uang 30.000 dirham ini
kepadanya." Kata Ubaidilah.
Sebelum pelayan Ubaidilah tiba di pintu, wanita itu telah
menutupnya. Dari dalam dia mengumpat, "Celakalah kamu !"
Akan tetapi pelayan itu tidak kehilangan akal. Dia
meletakkan uang itu di depan pintu dan ditinggalnya pergi. Wanita itu mengambil
dan menyimpannya. Dia tidak pernah menyentuhnya sampai banyak orang yang
mengambilnya.
Diaktakan bahwa kedermawanan adalah pemenuhan bisikan hati
yang pertama.
Dikatakan pada Qais bin Sa'ad bin Ubadah." Apakah
engkau pernah melihat seseorang yang lebih murah hati daripada anda ?"
"Ya, ketika saya turun ke desa," Jawabnya.
"Saya bertemu pada seorang wanita, lalu suaminya datang. Isteri itu
berkata kepada suaminya, "Engkau kedatangan seorang tamu."
Maka lelaki itu keluar mengambil seekor unta dan
menyembelihnya. Esok hari, datang tamu yang lain, dan keduanya melayaninya
sebagaimana hari kemarin. Saya heran melihat sikapnya yang aneh itu. 'Tuan',
sapa saya kepadanya. 'Saya belum makan apa yang tuan sembelih kemarin melainkan
hanya sedikit. Saya pikir tuan tak perlu memotong unta lagi.' Dia menjawab,
'Saya tidak akan memberi makan tamu-tamu saya dengan makanan yang sudah
menginap satu malam.' Saya tinggal di rumahnya selama dua atau tiga hari,
sementara langit masih mencurahkan hujan dan dia tetap memperlakukan tamu-tamnya
seperti itu. Ketika saya hendak berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, saya
meletakkan uang 100 dinar di rumahnya tanpa sepengetahuannya. 'Terimakasih dan
maafkan segala kesalahan saya. Saya hendak melanjutkan perjalanan,' Kata saya
kepada tuan rumah, kemudian sayapun berangkat. Ketika matahari telah naik
setingi beberapa tombak, tiba-tiab saya dikejutkan oleh suara lelaki yang
berteriak-teriak di belakang saya. 'Berhentilah hai musafir hina ! Engkau telah
memberiku harga pelayananku pada tamu-tamuku !' Dia berkata dengan nada sengit.
Dia tetap mengejarku sampai kudanya sejajar denganku dan kemudian menghadang di
depanku. 'Ambil uang itu'. Katanya memerintah. 'Jika tidak, maka engkau akan
saya tikam dengan pisau ini'.
Sayapun mengambil dan berpaling melanjutkan perjalanan
sambil mendendangkan syair :
Jika saya mengambil pahala
Yang telah saya berikan padanya
Maka cukup dengan demikian
Bagi orang yang memperkeruh
Ahmad bin Atha Ar-Ruzabari masuk rumah salah seorang
sahabatnya. Namun dia tidak menemukan tuan rumah. Penghuninya pergi sementara
pintunya tertutup. Dai berfikir, tuan rumah ini mengaku orang sufi, tetapi
mengapa pintu rumahnya tertutup.
"dobrak dan pecahkan pintunya." Perintahnya.
Kemudian dia bersama muridnya mengumpulkan semua yang ada di
dalam rumah , kemudian membawanya ke pasar dan menjualnya. Lalu dia dan
muridnya kembali ke rumah itu dan tinggal di dalam rumah tersebut. Ketika
pemilik rumah tiba, dia tidak berkata apa-apa selain diam, kemudian menyusul
isterinya. Dai masuk rumah dengan mengenakan baju yang bagus. Baju itu kemudian
dilepaskan sambil berkata, "wahai orang-orang yang tinggal di dalam rumah,
baju ini juga termasuk harta benda yang harus disingkirkan, maka juallah".
"Mengapa engkau memberatkan dirimu dengan pilihanmu
ini, "tegur suaminya.
"Diamlah, seperti inilah, syaikh ini telah menyadarkan
kita dan menghukum kita. Masih ada milik kita yang harus kita hinakan."
Suami isteri itu diam menekuri hidupnya.
Bisyr bin Harits mengatakan, "Memandang pada orang yang
bakhil dapat mengeraskan hati." Dikatakan ketika Qais bin Sa'id bin Ubadah
sakit, maka teman-temannya menangguhkan untuk hadir. Mereka sengaja
memperlambat kunjungan. Qais menanyakan tentang mereka lalu dijelaskan,
"Mereka merasa malu tentang hutang mereka yang belum dibayarkan
kepadamu".
"Semoga Alloh menghinakan harta yang mencegah kawanku
mengunjungi saya".
Kemudian Sa'id memanggil seseorang untuk mengumumkan
pesannya yang berbunyi : Barang siapa mepunyai tanggungan utang kepada Qais,
maka dia telah menghalalkannya. Semenjak pengumuman itu, banyak pengunjung yang
datang.
Dikatakan pada AbduLlah bin Ja'far, "Engkau memberikan
yang banyak jika diminta, dan bakhil dengan yang sedikit jika dicegah".
AbduLlah kemudian meluruskannya, "Sesungghnya saya
memberikan hartaku dan bakhil dengan akalku".
Dikisahkan bahwa AbduLlah bin Ja'far keluar dan menuju ke
pekarangan. Dia turun dari kudanya lalu memasuki kebun seorang tuan tanah. Di
dalam kebun itu terdapat seorang budak hitam yang usianya masih remaja. Budak
itu bekerja dengan giat seolah-olah tidak mengenal lelah. Ketika waktu makan
tiba, seorang suruhan tuannya membawakan makanan kepadanya lalu pulang. Belum
sampai ia menyentuh makanan, ada seekor anjing liar masuk kebun dan mendekati
budak itu. Budak itu memandangnya sejenak lalu melemparkan makanan itu kepada
anjing dan anjing pun segera melahapnya. Dai melempar lagi dan terus melempar
hingga jatah makannya habis dimakan anjing. AbduLlah memperhatikan dengan
seksama, kemudian dia mendekati budak itu.
"Wahai anak muda, berapa kali sehari engkau dikirimi
makanan oleh tuanmu ?" tanya AbduLlah.
"Apa yang ingin engkau lihat ?"
"Mengapa engkau mengutamakan anjing ini ?"
"Ini memang bukan bumi anjing, akan tetapi dia datang
dari tempat yang sangat jauh. Dai tentu sangat lapar,dan saya tidak suka
menolaknya".
"Apakah engkau melakukannya setiap hari ?"
"Saya kosongkan perutku dan melipatnya pada hari
ini". Budak itu bermaksud mengatakan bahwa ia sangat lapar.
"Betapa dermawannya budak ini, dia lebih dermawan dari
pada saya". Kata AbduLlah dalam hati. Dia kemudian pergi menuju majikan
budak itu, membeli kebun beserta budaknya dan peralatan di dalamnya, lalu
memerdekakan budak tersebut sekaligus memberikan kebun itu kepadanya.
Diceritakan ada seorang pria mendatangi kawannya lalu
megetuk pintunya dan tuan rumah pun keluar seraya bertanya, "Untuk apa
engkau mendatangiku ?"
"Untuk 400 dirham yang engkau hutangkan kepadaku".
Tuan rumahpun kemudian masuk, mengambil uang sejumlah yang
dibutuhkan tamunya, dan memberikan kepadanya. Setelah tamunya pulang, dai
menangis. Isterinya heran melihat sikap suaminya.
"Apakah engkau merasa keberatan dengan memenuhi
permintaan tamu itu " tanya isterinya.
"Saya menangis sampai tidak mengetahui keadaannya
sehingga dia datang untuk mengutarakan hajatnya kepada saya".
Mutarrif bin Asy-Syakhir berkata, "Jika salah seorang
dari kalian membutuhkan sesuatu kepada saya, maka sampaikanlah secara tertulis.
Karena saya tidak suka melihat hinanya kebutuhan di wajahnya."
AbduLlah bin Abbas adalah seorang ulama sufi terkenal
dizamannya. Seseorang bermaksud menjebaknya dalam permainan kotornya, maka
orang itu mendatangi tokoh-tokoh masyarakat sambil meninggalkan pesan,
"AbduLlah bin Abbas mengundang kalian pada acara jamuan makan besok
pagi." Orang-orang pun akhirnya datang dan memenuhi ruangan AbduLlah.
"Ada apa ini."? Tanya AbduLlah heran melihat para
tamu yang tidak diundang ikut memenuhi rumahnya.
Kemudian seseorang dari mereka menceritakan, tentang
undangan yang disebarkan kemarin. AbduLlah diam. Dia tidak berkata apa-apa
selain segera memerintahkan para pelayannya untuk pergi membeli buah-buahan,
roti, daging, dan meminta mereka untuk memasaknya dengan baik. Setelah acara
selesai, dia bertanya kepada wakil para undangan,"Apakah acara ini harus
kami adakan setiap hari ?"
"Ya" jawab mereka.
"Kalau begitu datanglah kalian tiap hari mulai
besok." Pesannya
Ustadz Sahal Ash-Sha'luki ketika datang berwudhu di halaman
rumahnya, ada seorang pengemis datang meminta sesuatu dan dia tidak segera
mengabulkan permintaannya.
"Sabarlah sebentar sampai saya menyelesaikan
wudhu." Katanya pelan.
Pengemis itupun sabar menunggu.
Ambil bejana dan keluarlah," kata ustadz.
Dia mengambil dan membawanya pergi. Setelah tahu bahwa
pengemis itu telah jauh, Abu Sahal berteriak, "Seseorang telah masuk
halaman rumah dan mengambil bejana tempat wudhu."Orang-orang yang
mendengar segera mencari orang yang dituduh mencuri bejana dan mereka tidak menemukannya.
Abu Sahal melakukan demikian karena tahu bahwa penghuni rumah seringkali
memakinya akibat sikapnya yang berlebihan dalam memberi.
Ustadz Abu Sahal memberikan jubah musim dinginnya kepada
seseorang. Kemudian dia pergi mengajar dengan memakai jubah wanita karena
memang tidak ada jubah lain selain yang dipakainya. Tidak beberapa lama,
datanglah beberapa utusan kenegaran dari persia yang diantara mereka terdapat
beberapa tokoh ulama dari berbagai kalangan. Diantra mereka adalah ulama fikih,
ulama ahli teologi, dan ulama ahli bahasa. Abul Hasan, si pemmpin rombongan
menyodorkan surat yang isinya meminta ustadz untuk menghadap ulama pemerintah.
Ustadz kemudian masuk ke dalam lalu kemudian keluar dengan memakai baju besi
yang melapisi jubah wanitanya lalu berangkat. Begitu tiba di tempat tujuan,
sang imam menyindir,"Dia sebenarnya sengaja menganggap enteng kami,
seorang imam negara, dengan memakai baju besi yang dilapsisi jubah
wanita." Kemudian diskusi kenegaraan pun dimulai. Mereka membahas berbagai
masalah hukum. Masing-masing ulama saling melemparkan pendapat dengan argumen
yang berbeda. Tetapi, tidak satupun pendapat yang bisa menandingi pendapat sang
ustadz. Pendapat ustaz mengungguli semua disiplin ilmu yang dikuasai para ulama
yang hadir dalam diskusi tersebut.
Syaikh AbduRrahman As-Sulami berkata, "Ustaz Abu Sahal
tidak pernah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan tangannya selain
melemparkannya terlebih dahulu ke tanah supaya seseorang yang membutuhkannya
mengambilnya sendiri. Ketika ditanya dia menjawab,"Dunia lebih sedikit
menkhawatirkan saya daripada yang saya lihat pada keagungan tangan di atas
daripada tangan di bawah. RasuluLloh SAWW bersabda :
اليد العليا خير من
اليد السفلى
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Abu Murtsid adalah seorang dermawan yang mulia, pernah
mendapat pujian dari seorang penyair. Ketika pujian itu diperdengarkan di
hadapannya, dia berkata," Saya tidak mempunyai sesuatu yang dapat saya
berikan kepada tuan. Akan tetapi tuan bisa mengajukan saya di hadapan hakim
dengan tuduhan mencuri uang tuan sebesar 100.000 dirham. Saya akan mengakui
tuduhan itu. Dengan demikian hakim akan memenjarakan saya dan tentunya keluarga
saya tidak membiarkan saya dipenjara. Mereka akan menebus saya dengan memberikan
uang ganti rugi kepada tuan,"
Penyair itu benar-benar melakukan saran Abu Murtsid. Dia
akhirnya dipenjara, kemudian dikeluarkan setelah keluarganya memberikan ganti
rugi kepada penyair. Abu Murtsid selamat dair penjara dan si penyair mendapat
uang 100.000 dirham.
Diceritakan bahwa seseorang meminta sesuatu kepada Hasan bin
Ali bin Abi Thalib RA, lalu beliau memberinya 50.000 dirham dan 500 dinar
sambil memberikan pesan,"Bawalah seorang pelayan yang akan meembawakan
barang-barang ini untuk anda". Kemudian dia datang dengan ditemani seorang
pelayan dan Hasan memberikan jubbah hijaunya kepada pelayan sambil berkata,
"Untuk ongkos pelayan biar saya yang menanggung".
Dikisahkan tentang seorang wanita yang meminta semangkok
madu kepada Al-Laits bin Sa'ad. Lalu dikirimkan kepadanya sekantong besar yang
penuh dengan madu. Pelayannya mengingatkan, "Dia hanya meminta semangkok
madu."
"Benar, dia meminta sebatas kebutuhannya, dan saya
memberi sebatas kepuasan saya."
Ada seorang ulama melakukan shalat di masjid Asy'ats di
Kufah. Dia memohon kepada Alloh supaya diberi kemampuan membayar hutang.
Setelah salam, dia menemukan sepasang sandal dan sepotong baju baru di
depannya.
"Apa ini ?" tanyanya kepada seseorang.
"Al-Asy'ats baru tiba dari Makkah dan beliau
memerintahkan kepada beberapa muridnya untuk membagikan barang ini kepada semua
jama'ah masjidnya."
"Tetapi saya datang untuk memohon kepada Alloh supaya
dibebaskan dari hutang, dan saya bukan termasuk jama'ahnya."
"Sedekah ini untuk semua yang hadir." Jelas
mereka.
Diceritakan bahwa ketika kematian Imam Syafi'i hampir tiba,
dia berpesan, "Datangkanlah seseorang yang akan memandikan jenasah
saya." Pria yang dimaksud adalah orang asing. Lalu disampaikan kepadanya
pesan sang imam. Lelaki itu tidak mengerti maksudnya, dan diminta untuk
mengingat sesuatu, dan akhirnya menemukan bahwa dia mempunyai hutang 70.000
dirham. Imam Syafi'i meminta pelayannya untuk memberikan uang sejumlah itu
kepada pria tersebut. "Inilah mandi jenazah saya". Kata sang imam.
Diceritakkan juga ketika Imam Syafi'i tiba di Makkah dari
kota San'a, dia membawa uang 10.000 dinar.
"Apakah tuan hendak membeli budak ?" taya
seseorang
Dia langsung merobohkan kemahnya dan keluar ke pinggiran
kota Makkah. Uang yang dibawanya dituangkannya ke tanah dan kepada seriap orang
yang datang dia memberinya segenggam uang. Ketika waktu zuhur tiba, dia berdiri
lalu menepuk bajunya dan tidak satupun uang yang tersisa di dalamnya.
diceritakan, pada saat hari lebaran, Sary As-Saqthi keluar
rumah. Kemudian seorang tokoh masyarakat menerima kunjungannya. Dia
menyambutnya dengan hormat, tetapi As-Saqhty membalasnya dengan biasa. Bahkan
dia membalas salamnya kurang lengkap.
"Dia seorang pembesar."Seseorang mencoba
mengingatkan.
"Saya tahu".
"Tetapi mengapa ?"
Lalu dijawab, "Seorang perawi mengatakan,' jika dua
orang islam bertemu maka 100 rahmat dibagi diantara keduanya. Yang 90 bagian
bagi untuk mereka yang lebih murah senyum, dan saya ingin dia memperoleh yang
lebih banyak.'"
Dikisahkan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib pada suatu hari
menangis, lalu ditanyakan kapadanya,"Apakah yang membuat tuan menangis
?"
"Semenjak seminggu saya tidak kedatangan tamu. Saya
takut Aloh menghinakan saya". Jawabnya
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata,
"Zakat rumah adalah penggunaannya untuk menerima tamu".
Mengenai ayat yang berbunyi :
هَلْ أَتَاكْ حَدِيْثُ ضَيْفِ
إِبْرَاهِيْمَ الْمُكْرَمِيْنَ
Sudahkah sampai kepadamu cerita tentang tamu Ibrahim (para
malaikat) yang dimuliakan ? (QS Adz-Dzariyat 24)
Menurut seorang mufasir pengertiannya adalah pelayanannya
kepada mereka dengan dirinya sendiri.
Ibrahim bin Al-Junaid berkata, "Empat hal yang tidak
boleh dipandang rendah meski dia seorang amir atau penguasa : berdiri dari
majlis untuk menyambut orang tua, melayani tamu, melayani guru yang telah
mengajarinya, dan bertanya tentang sesuatu yang belum diketahui."
Alloh SWT berfirman :
ليس عليكم جناح أنتأكلواجميْعاأوأشتاتاً
Tidak ada halangan bagimu untuk makan bersama mereka atau
sendirian.
Menurut Ibnu abbas, RA ayat tersebut mengandung pengertian
ketidak bolehan seseoarng makan dengan sendirian, lalu mereka diberi
keringanan.
Diceritakan bahwa AbduLlah bin Amir bin Kariz menjamu
seorang pria dengan jamuan terbaik. Ketika tamu itu hendak melanjutkan
perjalanan, para pelayannya tidak membebaskannya. Lalu hal itu dilaporkan
kepadanya, dan AbduLlah menjawab, "Sesungguhnya mereka bermaksud
menahannya untuk tidak melanjutkan perjalanan dari kami".
AbduLlah bin Bakuwaih mendengarkan syair Al-Muttanabi
berkaitan dengan hal di atas :
Jika engkau pergi dari kami
Sungguh mereka kuasa
Untuk tidak berpisah dengan mereka
Maka pergi adalah lebih penting.
AbduLlah bin Mubarak berkata, "bermurah hati dari apa
yang ada di tangan manusia (tidak tertarik atau iri) adalah lebih utama
daripada bermurah hati dengan memberi.
Seorang sufi berkata, "saya masuk rumah Bisyr bin
Harits pada hari yang sangat dingin. Dia melepaskan pakaiannya sehingga
tubuhnya tampak menggigil kedinginan. "Hai Abu Nashr" sapa
saya." Orang-orang pada musim dingin memakai pakaian rangkap tetapi engkau
malah menguranginya."
Dia menjawab, "Saya mengingat orang-orang fakir yang
tidak seperti mereka, sementara saya tidak memiliki sesuatu untuk diberikan
kepada mereka selain dengan seperti ini. Karena itu saya berusaha memenuhi hak
mereka dengan tebusan diri saya yang saya biarkan kedinginan".
Langganan:
Postingan (Atom)